Sabtu, 24 May 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Yohanes Nahak: Menapaki Jejak Ki Hajar Dewantara di Tanah TTU
Pamong Belajar Modern
Penulis: Meja Redaksi Lidah Rakyat
Sorot - 01 May 2025 - Views: 300
image empty
Dok Lidah Rakyat
Foto Yohanes Nahak

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini diajak kembali ke belakang, menapaktilasi jejak-jejak emas seorang pelopor pendidikan: Ki Hajar Dewantara. Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar momentum seremonial, melainkan ruang perenungan atas cita-cita luhur pendidikan nasional—yakni memerdekakan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam semangat itu, kami mengenang dan meneladani para guru dan pamong pendidikan yang dalam senyap memberdayakan peradaban, dari kota besar hingga pelosok perbatasan. Salah satunya adalah Yohanes Nahak, putra Timor dari Numbei yang lahir di Tafuli dan besar di Biuduk Foho—seorang guru dan pengawas yang telah menghidupi semangat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani dalam karya nyata di bumi Timor Tengah Utara.

Yohanes lahir pada 27 Desember 1965 dari keluarga guru sederhana. Ia menempuh pendidikan dasar di SDK Biudukfoho (1979), lalu melanjutkan ke SMP Katolik Don Bosco Atambua (1982) dan SMA Katolik Suria Atambua (1985), sebelum menuntaskan studi Biologi di FKIP-MIPA Universitas Nusa Cendana, Kupang, pada tahun 1993. Di sanalah benihkan ditanamkan di dalam dirinya. Namun hakikatnya, inspirasi hidup Yohanes telah tumbuh jauh lebih awal—dari sosok ayah dan ibunya yang juga guru SD. Dalam wawancara singkatnya, ia menyebut mereka sebagai guru kehidupan, sumber teladan yang membentuk jiwa. Setelah kepergian ayahnya pada 2 Maret 1997 dan sang ibu pada 14 Maret 2025, ia menulis puisi duka berjudul “ Sang Pelita yang Berpulang Pada Fajar .” Puisi ini bukan sekadar elegi, melainkan pernyataan batin bahwa ia siap melanjutkan cahaya itu. Karier Yohanes dimulai di SMP Angkasa Penfui, Kupang, di bawah naungan TNI AU pada Juli 1993. Ia kemudian menjadi guru tetap yayasan, dan pada 10 Januari 1998 resmi menjadi ASN, ditugaskan di SMPN 1 Miomaffo Timur–Nunpene. Pada tanggal 14 Juli 2009, ia diangkat menjadi Kepala SMP Katolik Aurora Kefamenanu, dan sejak tanggal 4 Agustus 2014 ia menjalani peran sebagai Pengawas SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten TTU.

Dalam peran ini, Yohanes tidak semata-mata menjadi pengawas formal. Ia hadir sebagai pamong, penuntun bagi guru dan kepala sekolah dalam menyikapi dinamika kurikulum, peningkatan kualitas, dan pelatihan karakter. Dengan prinsip hidup—ikhlas melayani, tulus berbagi, cerdas membimbing, hidup sederhana, dan tetap semangat kerja keras—ia menghadirkan pendekatan humanis yang tidak menggurui, melainkan menghidupi. Filosofi kehidupan yang terbentuk sejak awal di lingkungan militer dirumuskan dalam semboyan: “ SERSAN SATU” (Serius, Santai, Sampai Tujuan), cermin keseimbangan antara ketegasan dan kelembutan.

Tak heran jika dedikasi Yohanes menghasilkan pengakuan: Juara I Kepala Sekolah Berprestasi tingkat kabupaten dan provinsi (2011), finalis nasional di Jakarta, dan Juara II Pengawas Berprestasi tingkat Provinsi NTT (2016). Namun, bagi Yohanes, yang diberikan hanyalah bonus. Yang utama adalah dampak. Ia hadir di ruang-ruang diskusi, mendampingi guru yang kesulitan memahami regulasi, dan menjadi penghubung antara kebijakan pusat dan realitas lapangan.

Yohanes adalah sosok yang mencerminkan nilai-nilai Ki Hajar Dewantara dalam konteks kontemporer. Ing ngarso sung tulodo —menjadi teladan dalam kemudahan dan keikhlasan; Ing madya mangun karso —menghidupkan semangat komunitas belajar di tengah dinamika sekolah; dan tut wuri handayani— menjadi penopang yang mendorong guru dan kepala sekolah untuk terus tumbuh dan berkembang. Ia bukan hanya pendidik, tetapi pemerdeka: meyakini bahwa pendidikan yang sejati adalah yang memerdekakan, memberdayakan, dan menumbuhkan martabat.

Dalam refleksi Hardiknas tahun ini, Yohanes memberikan pesan bagi guru-guru masa kini:

"Guru zaman sekarang harus terus belajar. Dunia berubah dengan cepat. Seperti kata Herakleitos: Semuanya berubah, tidak ada yang diam, hanya perubahan yang berubah . Kita harus berhati-hati membaca regulasi, menyikapi perubahan secara cerdas, dan ikhlas melayani anak-anak didik. Layanilah mereka dengan hati, maka setiap tindakan kita akan berarti."

Yohanes juga mendorong pentingnya membangun komunitas belajar yang sehat: sehati, sepikir, sesuara, dan setindak dalam semangat kolaborasi. Sebab pendidikan bukan kerja individu, melainkan kerja kolektif yang membutuhkan ketulusan, sinergi, dan jiwa pamong.

Kini, setelah lebih dari tiga dekade mengabdi, Yohanes Nahak tetap melangkah tegap dalam kesenyapan. Ia tidak berdiri di atas panggung megah, tetapi berada di antara lorong-lorong kelas, rapat-rapat sekolah, dan ruang sunyi pendampingan—menjadi cahaya bagi yang lain. Ia adalah potret pamong masa kini yang diwarisi semangat Ki Hajar Dewantara dan menanamkannya dalam konteks lokal Timor dengan cita rasa universal. Maka tepatlah jika kita menyebut: Yohanes Nahak adalah salah satu penerus perjuangan Ki Hajar Dewantara dari wilayah perbatasan negeri—yang dalam diamnya telah ikut membentuk menuju peradaban bangsa. Semoga menjadi teladan dalam menginspirasi generasi baru pendidik Indonesia untuk terus menghidupkan obor pendidikan yang memerdekakan dan mencerahkan. (red)