Sabtu, 01 Nov 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Kekuatan Guru
Kumpulan Puisi Leni Marlina
Penulis: Leni Marlina*
Style - 30 Nov 2024 - Views: 1.42K
image empty
Ilustrasi
Ilustrasi Kumpulan Puisi Leni Marlina (Padang) "Kekuatan Guru". Sumber Gambar: Starcom Indonesia's Artwork No. 290 by AI

  • /1/
  • Kapal yang Tak Bernama 

  • Guru,
  • kami bagaikan fragmen, potongan waktu,
  • tenggelam dalam samudra terlarang,
  • luruh oleh ombak yang merindu arah.

  • Engkau bagaikan kapal tanpa nama,
  • tanpa pelabuhan, hanya kompas yang tak bisa dibaca,
  • menghantarkan kami dalam guncangan,
  • menabur peta di setiap debur ombak.

  • Layar yang terangkat adalah suara kami yang hilang,
  • seperti awan yang jatuh diam-diam.

  • Badai tak lagi menakutkan,
  • karena engkau, yang mengunyah rasa takut dengan tawa.

  • Ketika kami mendarat,
  • di dermaga mimpi yang tak pernah kami kenal,
  • engkau hanya senyap,
  • seperti mercusuar yang hilang,
  • melawan gelap dengan cahaya sunyi.

  •  Jogyakarta, 2013


  • /2/
  • Hujan yang Memahat Bukit 

  • Wahai guru,
  • engkau bagaikan hujan yang tak berhenti,
  • bukan air, tetapi jejak waktu yang jatuh sabar,
  • melukis dinding jiwa kami dengan kesabaran yang diam.

  • Kami bagaikan bukit beku,
  • menerima hujan yang tak tahu rasa.
  • Mengira itu hanya kelembapan,
  • tapi lihat, bukit itu kini terukir,
  • lembah-lembah pemahaman mengalir di dalam kami.

  • Engkau menjadi hujan yang berbisik di udara,
  • membawa sungai yang tak pernah kami kenal,
  • kami yang dahulu bebal, kini melihat dunia dari permukaan yang lebih dalam.

  • Engkau mengubah kami tanpa pernah berkata,
  • karena di sini, hujan adalah rahasia yang hanya engkau tahu.


  • Yogyakarta, 2013


  • /3/
  • Langit yang Meminjamkan Bintangnya 

  • O… guru,
  • engkau bagaikan  langit,
  • penuh dengan bintang yang hanya meminjamkan cahayanya,
  • menyusupkan jiwa kami dengan debu bintang yang terlarut dalam malam.

  • Kami bagaikan pejalan yang mencium langit,
  • tangan kami menyentuh cahaya yang tak tampak,
  • menunggu terangnya yang memecah gelap,
  • tapi engkau, tetap diam, menahan bintang agar tidak jatuh ke bumi.

  • Sebuah bintang tiba-tiba jatuh ke telapak tangan kami,
  • dan kami terkejut,
  • karena itu bukan bintang yang menyala,
  • melainkan luka yang masih tersisa dari cahayamu,
  • yang hanya dapat dilihat di atas gelap yang tak tampak.


  • Yogyakarta, 2013


  • /4/
  • Tangan yang Menjahit Awan 

  • Guru,
  • engkau bagai tangan yang tidak bisa dilihat,
  • menjahit awan dengan benang yang terbuat dari angin dan senyum.

  • Jahitanmu bagaikan langit yang tak pernah kering,
  • terus berkembang tanpa akhir, memeluk dunia kami yang terpecah.

  • Langit yang engkau jahit, menjadi kain dari mimpi,
  • melapisi pikiran yang tak tahu apa-apa,
  • seperti jarum yang masuk ke dalam jiwa kami,
  • menarik benang-benang waktu yang tercabut.

  • Tapi angin datang, merobek jahitanmu,
  • namun engkau tak pernah berhenti,
  • karena langitmu adalah permadani yang tak boleh rusak,
  • dan kami adalah benang-benang tak terlihat,
  • yang saling menjalin tanpa mengerti.


  • Yogyakarta, 2013


  • /5/
  • Nyala Api di Mulut Gunung

  • Wahai guru,
  • engkau bagaikan  nyala api di mulut gunung yang tertidur,
  • membakar dunia dengan tangan yang terbalut malam.
  • Kami, yang tercelup dalam bayang-bayangmu,
  • menjadi cahaya yang dibentuk dari jejak api yang tidak tampak.

  • Asap itu bukan milik kami,
  • ia terbang tinggi, berputar di angkasa yang jauh.
  • Kami adalah api yang tercuri,
  • api yang tidak tahu asal-usulnya,
  • karena kami hanya melihat hasil dari tubuhmu yang terbakar.

  • Sekarang, api itu mengalir dalam darah kami,
  • menjadi lentera yang tak pernah padam,
  • berjalan menelusuri waktu yang melengkung seperti bola api
  • yang tertinggal di ruang hampa yang tak bisa dijangkau.


  • Jogyakarta, 2013

  • ----------------------
  • Selamat Hari Guru
  • ----------------------

  • Biografi Singkat

  • Kumpulan puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina hanya sebagai hobi dan koleksi puisi pribadi tahun 2013.  Puisi tersebut direvisi kembali serta dipublikasikan pertama kalinya melalui media digital tahun 2024.

  • Saat ini, Leni Marlina merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat. Ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair & Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Selain itu, Leni terlibat dalam Victoria's Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.w

  • Leni juga merupakan pendiri dan pemimpin sejumlah komunitas digital yang berfokus pada sastra, pendidikan, dan sosial, di antaranya:, (1) Komunitas Sastra Anak Dunia (WCLC): https://rb.gy/5c1b02, (2) Komunitas Internasional POETRY-PEN; (3) Komunitas PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat): https://tinyurl.com/zxpadkr; (4) Komunitas Starcom Indonesia (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia): https://rb.gy/5c1b02.

Komentar (141)
Syashikira
08 September 2025, 21:32 WIB
" melawan gelap dengan cahaya yang sunyi" Dari larik ini lahirlah sebuah ruang bernama “Taman Pelita.” Sebuah taman tematik yang hanya mulai hidup ketika matahari tenggelam. Saat langit berubah jingga lalu perlahan gelap, taman ini menyala dengan cahaya lampu-lampu temaram, lentera gantung, lilin hias, dan instalasi cahaya artistik. Filosofinya, di tengah gelapnya malam, selalu ada cahaya yang menenangkan dan memberi harapan. Taman Pelita bukan sekadar tempat hiburan malam, melainkan ruang untuk merayakan ketenangan, menyatukan keindahan cahaya dengan sunyi, agar orang bisa merenung, berkumpul, dan menemukan kehangatan setelah matahari tenggelam. <br /> Syashikira Syahrani Fauzyah (23018048) 25 JD EPR '23 SN 7-8 LM BD6 FBS
Syofi Ardia
08 September 2025, 21:06 WIB
pada bait Kami bagaikan bukit beku, menerima hujan yang tak tahu rasa.Mengira itu hanya kelembapan,tapi lihat, bukit itu kini terukir,lembah-lembah pemahaman mengalir di dalam kami. Pada larik "bukit itu kini terukir" menyadarkan saya jika menjadi seorang pengajar itu tidak nampak langsung hasilnya, namun saat di akhir akan disadari betapa pentingnya apa yabf sudag diajarkan. Dari sini saya semakin yakin dan mantap dengan ide usaha untuk mendirikan sebuah kursus bahasa untuk anak-anak agar nanti dikemudian harinya bahasa yang saya ajarkan menjadi ukiran indah bagi mereka. Menjadi jalan yang mengenalkan mereka dengan dunia luar, menjadi kunci untuk keberhasilan mereka nantinya. Syofi Ardia (23018135)- 25 JD '23 SN 7-8' LM BD6 FBS<br /> <br />
Yasyifa Khairunnisa
08 September 2025, 20:59 WIB
Larik "Kami bagaikan bukit beku, menerima hujan yang tak tahu rasa. Mengira itu hanya kelembapan, tapi lihat, bukit itu kini terukir" ini menggambarkan bagaimana ketekunan seorang guru, meski kadang tak terlihat langsung hasilnya, perlahan membentuk murid-murid menjadi pribadi baru. Perubahan itu butuh waktu, tapi akhirnya meninggalkan jejak yang indah. Dari sini lahirlah ide usaha “Rain Carve Studio.” Usaha ini bergerak di bidang seni dan pendidikan, mengajarkan kesabaran melalui kegiatan art therapy seperti melukis, memahat, atau membuat kerajinan. Filosofinya, seperti hujan yang mengikis bukit sedikit demi sedikit, karya seni bisa mengikis beban hati hingga menghasilkan bentuk baru yang penuh makna.<br /> <br /> Yasyifa Khairunnisa<br /> (23018137)<br /> 25 JD EPR '23 SN 7-8 LM BD6 FBS
Nahdiatul Fadhyla
08 September 2025, 20:46 WIB
Larik yang dipilih (dari puisi /5/ Nyala Api di Mulut Gunung): <br>“engkau bagaikan nyala api di mulut gunung yang tertidur, membakar dunia dengan tangan yang terbalut malam.” <br>Makna larik: <br> Larik ini menggambarkan guru sebagai sosok yang penuh energi dan kekuatan tersembunyi. Api di mulut gunung yang tertidur melambangkan potensi besar yang kadang tidak terlihat, tetapi mampu mengubah keadaan ketika bangkit. Membakar dunia dengan tangan yang terbalut malam menunjukkan bahwa peran guru tetap menyala, meskipun dalam keterbatasan dan kesunyian. Pesan tersembunyinya adalah tentang dahsyatnya pengaruh ilmu pengetahuan: ia dapat menggerakkan, menerangi, bahkan mengubah dunia walau berasal dari tempat yang sederhana. <br> Dari puisi tersebut, saya mendapatkan beberapa ide usaha seperti: <br> 1. Lembaga Kursus / Bimbingan Belajar Kreatif – wadah bagi guru atau calon guru untuk menyalurkan ilmu dengan cara baru yang inspiratif. <br> 2.Platform Digital Edukasi – aplikasi pembelajaran online yang menghadirkan “nyala api” pengetahuan ke berbagai penjuru, bahkan dalam keterbatasan. <br> 3. Pelatihan Guru & Pengembangan Profesional – program untuk membangkitkan potensi tersembunyi para pendidik, agar mereka bisa “membakar dunia” dengan ilmu dan kreativitasnya. <br> Nahdiatul Fadhyla (23018030)<br> 25 JD EPR '23 SN 7-8 LM BD 6 FBS<br /> Balas
Viola Berliana
08 September 2025, 20:39 WIB
Dari Larik: “Kami bagaikan fragmen, potongan waktu, tenggelam dalam samudra terlarang, luruh oleh ombak yang merindu arah.”Makna yang dapat saya tangkap yaitu murid merasa tercerai-berai, tidak utuh, kehilangan arah. Ada kerinduan untuk dipandu agar hidup tidak hanya hanyut. Dari larik ini muncul ide usaha pusat bimbingan minat bakat & karier bagi remaja/pelajar. Jadi mereka tidak “tenggelam,” tapi diarahkan sesuai potensi.<br /> Viola Berliana (23018200)<br /> 25 JD EPR '23 SN 7-8 LM BD 6 FBS