Sabtu, 01 Nov 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Bermain atau Berkompetisi? Menata Ulang Makna Prestasi Anak di Panggung Mahkota
Inspirasi Indonesia Maju
Penulis: Novita Sari Yahya*
Analisis - 31 Oct 2025 - Views: 39
image empty
Ilustrasi lidahrakyat.com

Antara Pengembangan Bakat dan Eksploitasi Terselubung

Fenomena lomba anak di Indonesia meningkat, salah satunya didorong oleh tren yang muncul kembali sekitar tahun 2018, ketika ajang pencarian bakat anak kembali ramai. Banyak di antaranya diklaim sebagai wadah bakat, padahal berpotensi menjerumuskan pada eksploitasi terselubung, terutama ketika anak diminta tampil dengan gaya dan penampilan orang dewasa. UNICEF dan lembaga-lembaga perlindungan anak lainnya menegaskan bahwa keterlibatan anak di ruang publik harus berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.

Ketika Panggung Mengalahkan Taman Bermain

Sorotan lampu dan tepuk tangan sering kali membuat anak kehilangan haknya untuk bermain bebas, padahal bermain adalah hak fundamental anak. Banyak lomba tidak memiliki aturan etik yang jelas terkait batas usia, jam latihan, atau pendampingan profesional. Akibatnya, tekanan emosional meningkat dan anak menjadi objek pencitraan keluarga.

Ambisi Orang Tua, Bukan Dukungan Bakat Anak

Orang tua kerap menyebut ambisi pribadi sebagai "dukungan terhadap bakat anak". Padahal, Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, secara tegas melarang segala bentuk eksploitasi, termasuk sosial dan emosional. KPAI mencatat 1.801 pengaduan terkait pemenuhan hak anak dari Januari hingga November 2024, dengan jumlah total mencapai 2.057 aduan sepanjang tahun 2024, yang mencakup berbagai kasus perlindungan anak. Dalam undang-undang yang sama, orang tua juga memiliki kewajiban untuk menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

Anak Bukan Cermin Ambisi Orang Dewasa

Sosiolog Yasraf Amir Piliang menyebut fenomena "ikonisasi anak", yaitu ketika anak menjadi simbol status sosial keluarga. Sebagai praktisi pageant dan ibu, penulis menyaksikan bagaimana banyak orang tua menaruh kebanggaan pribadi pada performa anak di atas panggung.

Bakat Sejati Tak Selalu Butuh Panggung dan Mahkota

Menurut Jean Piaget, anak belajar paling baik melalui eksplorasi dan bermain, bukan dari tuntutan tampil sempurna. Meskipun kompetisi yang sehat dapat membangun kepercayaan diri, tekanan kompetisi publik yang berlebihan pada usia dini dapat memicu stres dan gangguan kecemasan. Talent Kids Indonesia kini mulai mengubah paradigma: banyak peserta menampilkan bakat autentik, di antaranya musik, tari daerah, atau pidato inspiratif tanpa tekanan lomba.

Berikut versi gabungan dari tulisan sebelumnya dengan teks terbaru Anda, tanpa mengubah kata dan data:

Refleksi Seorang Ibu

Saya baru mengizinkan putri saya terjun ke dunia modeling di usia 20 tahun, ketika ia sudah matang secara emosional dan hukum. Di masa kecilnya, saya menekankan empati, seni, dan kegiatan sosial. Menurut Albert Bandura, kepercayaan diri sejati lahir dari self-efficacy, yaitu keyakinan pada kemampuan diri melalui pengalaman positif, bukan validasi eksternal.

Menata Ulang Makna Prestasi

Elisabeth B. Hurlock, dalam karyanya mengenai psikologi perkembangan, menekankan pentingnya bermain dalam proses tumbuh kembang anak. Prestasi sejati anak adalah kemampuan berempati, berkolaborasi, dan tekun menghadapi proses, bukan sekadar piala. Institusi pendidikan dan keluarga perlu mengubah orientasi lomba menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan dan beretika.

Penutup: Anak Bukan Cermin Ambisi Kita

Mahkota boleh memukau, tapi masa kecil tak ternilai. Biarkan anak-anak tumbuh dengan tawa, bermain, dan menemukan arti prestasi lewat kebahagiaan, bukan tekanan.

Daftar Pustaka

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. W.H. Freeman and Company.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi 5, Istiwidayanti & Soedarjarwo, Terjemahan). Erlangga.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (2024). Data Pengaduan Anak Tahun 2024.

Piaget, J. (1973). To understand is to invent: The future of education. Viking Press.

Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika: Tafsir cultural studies atas matinya makna. Jalasutra.