Beberapa waktu belakangan, sorotan publik terhadap dunia pendidikan kembali tertuju pada isu kekerasan dan perundungan (bullying). Kasus di lingkungan kampus, sekolah, hingga dunia daring memperlihatkan bahwa kita belum cukup tanggap menghadapi fenomena ini.
Perundungan dan Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
Data di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sepanjang 2024 tercatat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan—meningkat lebih dari dua kali lipat dari 285 kasus pada 2023. Hasil Asesmen Nasional 2022 juga mengungkap bahwa 36,31% siswa berisiko mengalami bullying dan 34,51?risiko mengalami kekerasan seksual di sekolah. Secara global, meta-analisis menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 4 remaja (25%) pernah menjadi korban bullying, dengan dampak psikologis serius seperti kecemasan, depresi, bahkan ide bunuh diri. Lonjakan pasca-pandemi mempertegas perlunya intervensi lintas sektor—pendidikan, kesehatan mental, dan keluarga.
Perundungan di Era Digital
Perkembangan teknologi dan media sosial memperluas ruang kekerasan: dari tatap muka ke dunia daring. Menurut survei UNICEF U-Report, 45% remaja Indonesia (usia 14–24 tahun) mengaku pernah mengalami cyberbullying. Kajian internasional menunjukkan adanya hubungan kuat antara bullying kata-kata dan cyberbullying, keduanya saling memperkuat dampak trauma. Maka, integrasi literasi digital, kesadaran etika bermedia, dan pendidikan empati menjadi sangat penting dalam strategi pencegahan.
Literasi dan Menulis sebagai Terapi Penyembuhan
Di tengah kondisi ini, literasi, khususnya menulis ekspresif (expressive writing), menjadi cara pemulihan trauma yang efektif. Berbagai studi internasional menunjukkan bahwa aktivitas menulis naratif membantu korban bullying memproses pengalaman emosional, mengurangi stres, dan menumbuhkan kembali rasa kendali diri. Melalui tulisan, seseorang bisa membicarakan luka yang tak mudah diucapkan secara langsung, menemukan makna baru, serta memulihkan kepercayaan diri yang hilang.
Sastra sebagai Pemantik Empati dan Transformasi
Menulis dan membaca karya sastra bukan sekadar aktivitas estetis, tetapi juga alat komunikasi menyampaikan rasa. Bagi korban, menulis menjadi ruang aman untuk merawat luka; bagi pembaca, menyelami cerita orang lain menumbuhkan empati yang lebih dalam daripada sekadar nasihat moral. Sastra tidak mengubah perilaku lewat kata-kata tetapi lewat getaran emosional yang membangkitkan refleksi.
"Melalui sastra, kita bukan hanya menceritakan luka, tetapi membangun jembatan empati."
Melalui buku antologi Romansa Cinta yang berisi 23 cerpen berdasarkan kisah pengamatan di media dan lingkungan, saya menegaskan bahwa menulis dan membaca karya sastra dapat menjadi bagian dari proses penyembuhan. Ini bukan sekadar karya sastra, tetapi juga gerakan kemanusiaan.
Seruan agar sekolah, kampus, dan lembaga pendidikan menjadikan literasi sebagai cara untuk memutus lingkaran bullying.
Rencana Penelitian dan Implementasi
Ke depan, penting dilakukan penelitian empiris dan implementatif tentang efektivitas sastra dan literasi dalam mengubah perilaku sosial, antara lain dengan:
1. Integrasi kurikulum sastra, seni, dan filsafat sebagai fondasi pendidikan berperspektif kemanusiaan.
2. Penguatan literasi digital dan etika bermedia untuk menekan angka cyberbullying.
3. Gerakan literasi di sekolah dan kampus sebagai media refleksi dan penyembuhan.
Gerakan Literasi: Menulis dan Membaca Karya Sastra untuk Stop Bullying
Inisiatif ini merupakan gerakan sosial literasi yang saya gagas untuk memperkuat peran sastra sebagai sarana penyembuhan dan pencegahan kekerasan. Buku Romansa Cinta (23 Cerpen) adalah salah satu wujud nyata dari gerakan ini.
Daftar Referensi.
UNICEF Indonesia. Bullying in Indonesia: A National Survey. 2020.
JPPI. Laporan Kekerasan di Pendidikan 2020–2024. 2024.
Education Out Loud. From School Violence and Bullying to a Culture of Care. 2023/2024.
Global Partnership Blog. “The Role of Education in Combating Cyberbullying in Indonesia.” 2023.
Vacca, M. et al. “Bullying Victimization and Adolescent Depression, Anxiety…” PMC, 2023.
2.65K
141