Sabtu, 24 May 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Tersesat di (pulau) Sorga
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
Penulis: Wayan Suyadnya
Style - 07 May 2025 - Views: 57
image empty
Dok.Denpasar Bali, lidahrakyat.com

Bali disebut sebagai pulau Sorga. Tempat di mana waktu berjalan pelan, seolah memberi ruang bagi jiwa untuk bernapas. Di pulau ini angin mendesir membawa ketenangan, cahaya matahari jatuh dengan lembut di atas daun, dan harum dupa menyatu dengan nyanyian doa.

Bali dikenal sebagai daerah paling aman di dunia. Bukan aman yang dipaksakan, bukan pula aman karena pagar tinggi dan kamera pengintai. Tapi aman karena jiwanya memang tenteram.

Tak ada rasa takut, tak ada ancaman, tak ada kegelisahan. Manusia dan alam seperti bersaudara—hidup berdampingan dalam harmoni yang tak banyak tempat lain bisa mengerti.

Seorang teman saya dari Jakarta pernah bercerita. Ia datang ke Bali sendirian, bukan untuk wisata populer, tapi untuk mencari jeda dari hidup yang riuh.

Suatu hari ia berjalan tanpa tujuan, melintasi desa-desa kecil yang tak dikenalnya. Tak ada peta. Tak ada rencana. Hanya kaki dan rasa ingin tahu.

“Kalau tersesat di Jakarta,” katanya, “gue bisa berakhir di Bekasi, atau entah di mana. Tapi di Bali... tersesat seperti menemukan jalan pulang menuju Sorga. Semua tampak aman, nyaman dan indah.”

Ia tertawa, tapi saya tahu itu tawa yang dalam. Ia bercerita tentang pematang sawah yang terhampar, pohon kelapa yang melambai seperti kawan lama, burung yang seakan diternak oleh pembajak sawah, suaranya pun tak terganggu deru knalpot. Damai.......Ia menemukan petani yang menawarinya kelapa muda, ibu-ibu yang menuntunnya ke pura kecil, dan bahkan sungai yang jernih tempat gadis-gadis desa mandi tanpa risau, seolah tak ada kata "bahaya" dalam kamus hidup mereka.

Tak ada yang mengancamnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia tak merasa asing, justru merasa diterima.

Di Bali, katanya, bahkan tersesat adalah pengalaman spiritual. Lalu, kenapa Bali memerlukan ormas pengaman? Paradoks itu menggantung, menggema dalam batin saya. Siapa yang perlu dilindungi, dan dari apa?

Orang Bali merasa aman. Turis-turis merasa nyaman. Bahkan para pendatang pun merasa damai. Lalu kenapa masih ada yang ingin membentuk ormas, siapa memerlukan, untuk apa diperlukan, ormas siapa itu? Jadi, siapa yang merasa tidak aman? Apakah mereka membawa rasa takut dari luar, dan kini mencoba menjaganya dari bayangan yang mereka ciptakan sendiri?

Di Bali, keamanan bukan industri. Ia adalah kebiasaan. Ada pecalang, penjaga adat yang hadir dalam sunyi, bukan untuk mencurigai, tapi untuk menata.

Mereka tidak berjaga setiap malam, tidak menyisir sudut kota dengan lampu sorot. Mereka hadir saat upacara, saat masyarakat butuh mereka. Mereka tahu siapa yang mereka jaga, dan kenapa mereka dijaga.

Gubernur Bali, Wayan Koster, pernah berkata dengan tegas: Bali tidak memerlukan ormas luar untuk menjaga pulau ini. Wakil Gubernur Nyoman Giri Prasta pun menegaskan hal serupa. Karena Bali sudah aman. Sudah dijaga, oleh warganya sendiri, oleh para leluhur, oleh alam yang masih diberi doa setiap pagi, setiap hari. Apa yang akan dijaga oleh mereka yang tak mengenal Bali? Apa yang bisa mereka amankan jika yang datang adalah ketakutan mereka sendiri?

Bali bukan kota yang dibentengi dari ancaman. Bali adalah desa yang dibuka oleh doa. Dan seperti kata temanku, di Bali, tersesat bukan musibah. Tersesat adalah cara semesta mengajak pulang. Menemukan Sorga yang hilang entah ke mana.

Denpasar, 6 Mei 2025