Karya: Yohanes Nahak, S.Pd*
Kau Putri Bungsu yang manja
Dipelukan Kakak -kakakmu
Tapi kau buat hidup bagai dahan tegar
Mengulurkan diri pada yang papa,
Mengajar di papan tulis sepi,
Lalu menikahi seorang guru yang sama,
Dua pelita di tengah gelapnya zaman
Rumahmu selalu terbuka—
seperti panti yang kaujadikan altar:
setiap meja adalah persembahan,
setiap kursi adalah doa.
Di matamu yang tajam, kami belajar disiplin,
tapi di balik itu, ada rahim kasih yang tak pernah kering:
“Bersyukur, berbagi, berdoa,”
mantramu yang selalu berulang.
Di usia senja, kau menjadi penjaga mazmur:
duduk di bangku paling depan gereja,
suaramu parau memimpin rosario,
tanganmu bergetar menggenggam lilin.
Kaum perempuan menunduk hormat—
kaulah Maria yang berjalan di antara mereka,
membawa kabar lewat senyum dan sebait kidung.
Di minggu terakhir, kau bicara dengan arwah yang tak kami lihat:
berbisik pada kakak-kakakmu yang telah lebih dulu pulang,
tersenyum pada ruang kosong, seolah mereka duduk di sampingmu.
Pikiranmu kadang pergi menjelajah waktu—
tapi kau selalu kembali saat lonceng gereja berbunyi,
khusyuk merangkai salam Maria,
seperti penyanyi yang tak pernah lupa syairnya.
Malam itu, dingin menggelayut pelan.
Nona, putrimu, berjaga di sisimu—
menyeka keringat di dahimu yang mulai dingin, merapikan selimut ribuan kali.
Ketika bumi berelimut hening,
Kau pergi di ujung fajar,
saat burung-burung belum lagi berkicau:
seperti Musa yang wafat sebelum masuk Kanaan,
tanpa pesan, tanpa drama—
hanya desahan panjang yang menjadi titik akhir.
Tapi kami tahu,
kaulah lilin yang padam di ujung subuh
agar mentari bisa terbit dengan sempurna.
Kini, debu kapur dari papan tulismu
menjadi abu yang suci,
dan nasihat-nasihatmu
tertulis di dinding hati kami—
bagi hukum Taurat yang takkan lapuk.
Kami akan terus merapikan kursi kosong di meja makan,
menyimpan gelas yang selalu kauminumkan air putih,
menjaga rosario usang di laci kamarmu.
Karena di sini, kau masih hidup:
dalam setiap anak didik yang mengingatmu,
dalam setiap misa yang kami hadiri dengan rapih,
dalam setiap tawa cucu yang kau tak sempat pangku.
Kami takkan menangis terlalu lama, Mama.
Seperti katamu: “Kematian hanyalah pindah kelas—dari ruang guru yang sempit,
ke ruang Tuhan yang tak bertepi.”
Puisi ini dipersembahkan kepada ayah dan ibu tercinta sebagai pahlawan pendidikan yang telah tiada, Di Hari Pendidikan Nasional
*Penulis adalah seorang pengawas sekolah SMP di Kabupaten Timor Tengah Utara
2.38K
132