Sabtu, 24 May 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Refleksi Filosofis Hari Buruh Sedunia: "Bekerja, Tapi Untuk Siapa?"
Hari Buruh Internasional
Penulis: Remigius Ua*
Opini - 01 May 2025 - Views: 205
image empty
Dok. Remigius Ua
Remigius Ua, S.Pd,Gr

Tanggal 1 Mei, Hari Buruh Sedunia, kembali hadir di tengah dunia kerja yang semakin kompleks. Bukan sekadar seremoni, hari ini adalah panggilan bagi kita semua untuk merenungkan hakikat dari sesuatu yang kita lakukan hampir setiap hari: bekerja. Namun, pertanyaannya, benarkah kerja hari ini masih menjadi jalan menuju kemuliaan manusia?

Di banyak sudut negeri, kerja telah menjadi mimpi yang sulit digapai. Ribuan sarjana mengantre, menunggu panggilan yang tak kunjung datang. Sementara di sisi lain, mereka yang telah duduk di kursi kerja justru tak bekerja dengan sungguh-sungguh. Ada yang menunda-nunda, ada yang menyelewengkan, dan tak sedikit yang tergoda oleh korupsi. Bukankah ini ironis?

Filsuf eksistensialis Albert Camus pernah berkata, "Without work, all life goes rotten, but when work is soulless, life stifles and dies." (Tanpa kerja, hidup menjadi busuk; tetapi ketika kerja kehilangan jiwa, hidup pun tercekik dan mati.) Kata-kata ini menjadi cermin bagi kondisi kita hari ini. Ketika kerja menjadi rutinitas tanpa makna, atau bahkan alat penindasan yang halus, maka sesungguhnya kita sedang memiskinkan nilai kemanusiaan.

Kerja bukan hanya aktivitas ekonomi. Ia adalah proses eksistensial—perwujudan diri manusia di dunia. Karl Marx mengajarkan bahwa melalui kerja, manusia membentuk dunia dan dirinya sendiri. Tapi dalam realitas hari ini, kerja telah dijauhkan dari manusia. Ia menjadi sistem yang dingin, yang mengutamakan untung daripada nilai.

Sungguh, Hari Buruh bukan hanya tentang tuntutan upah layak, jaminan sosial, atau perlindungan hukum. Ia lebih dari itu. Hari ini adalah momen untuk bertanya: untuk siapa kita bekerja? Untuk rakyat atau kekuasaan? Untuk perubahan atau untuk kekayaan pribadi? Untuk generasi masa depan atau untuk kenyamanan sesaat?

Sudah saatnya kita merestorasi makna kerja. Mereka yang masih berjuang mencari pekerjaan harus dibantu, diberi ruang, diberi harapan. Dan mereka yang telah diberi kepercayaan untuk bekerja, baik di sektor publik maupun swasta, wajib menjaga integritasnya. Karena kerja yang benar adalah bentuk tertinggi dari cinta pada sesama dan bangsa.

Bagi para pemimpin, mari bekerja bukan demi popularitas, tapi demi keberlanjutan hidup banyak orang. Bagi para buruh, mari terus bersuara tanpa kehilangan nilai-nilai. Dan bagi kita semua, mari menjadikan kerja sebagai doa, sebagai jalan pengabdian.

Hari Buruh Sedunia adalah momentum pengingat: bahwa pekerjaan bukan semata-mata tentang bertahan hidup, melainkan tentang hidup yang dijalani dengan benar.

*Penulis adalah Guru Matematika di SMP Negeri Wini, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT