Di Pejarakan, Gerokgak, Buleleng — di ujung utara Bali yang biasanya sunyi, kini menjadi ramai. Di sana sedang terjadi pemerkosaan terang-terangan. Bukan terhadap manusia, tapi terhadap gadis perawan yang bernama lingkungan.
Gadis yang harum, teduh, dan suci. Tubuhnya dikoyak, ditelanjangi, dipasangi tiang besi dan semen dingin. Nafasnya dirampas oleh mesin pembangunan. Semua atas nama investasi, atas nama kemajuan, atas nama rupiah yang konon akan membawa kesejahteraan. Vila berdiri megah di tengah hutan, padahal izinnya belum jelas: tak ada Analisis Dampak Lingkungan, tak ada izin bangunan. Tapi entah bagaimana, fondasi tetap digali, dinding tetap naik, kaca-kaca mahal sudah berkilau menantang matahari. Dan semua itu terjadi di hadapan mata banyak orang. Apakah hutan itu buta? Tidak. Apakah warga desa tidak tahu? Mustahil. Apakah kepala desa, camat, dinas kehutanan, dinas lingkungan, bupati, wakil bupati, hingga DPRD setempat benar-benar tidak tahu? Sulit dipercaya.
Vila sebesar itu tak mungkin berdiri diam-diam. Tidak mungkin hutan bisa diperkosa tanpa penjaga hutan menutup mata — kecuali memang matanya sengaja ditutup, atau dibeli.
Inilah Bali hari ini: pulau yang katanya spiritual, tapi diurus dengan hawa nafsu. Alam dijadikan altar sesaji untuk investor. Atas nama pariwisata hijau, hutan ditebang; atas nama pelestarian budaya, sawah dikeringkan; atas nama kesejahteraan rakyat, tanah rakyat diserahkan. Semua kata luhur telah kehilangan makna, jadi kosmetik bagi kebohongan yang berbau manis.
Kasus Pejarakan hanyalah ulangan dari Parq Ubud — vila raksasa yang dulu ramai karena berdiri di atas sawah yang dilindungi.
Dulu ribut, viral, seolah negara marah. Aparat turun tangan, pejabat berjanji, media berteriak. Tapi semua hanya sementara. Belum setahun, Parq Ubud kembali beroperasi, berganti pemilik, berganti nama, seolah tak pernah memperkosa sawah yang suci itu. Pemerkosa bebas, korban dilupakan. Dan kini, di Pejarakan, kita sedang menonton film yang sama: naskahnya sama, aktornya berbeda.
Bedanya, kali ini para penonton pura-pura tidak tahu. DPRD Bali meminta pembangunan dihentikan, distop, tapi seberapa lama? Sampai sorotan mereda? Sampai uangnya cukup untuk melumasi birokrasi? Yang lebih ironis: tokoh-tokoh publik yang biasanya paling cepat bereaksi dalam soal lingkungan belakangan malah diam. Padahal mereka sering berteriak soal cinta lingkungan, soal kedaulatan Bali, soal pemerkosaan alam. Kini, ketika pemerkosaan terjadi di depan mata, mereka seperti kehilangan suara. Barangkali karena kali ini terjadi jauh di Bali utara?
Kita hidup di dunia paradoks yang paling getir: Bali menjual diri dengan cara yang paling elegan. Menjual tanah, udara, dan lautnya dengan senyum sopan.
Di brosur pariwisata, kita bicara “keindahan alam Bali yang lestari”. Tapi di balik kata lestari, ada truk-truk pengangkut batu, ada alat berat yang mengoyak bukit. Pejarakan adalah wajah telanjang dari moral kita yang bangkrut. Semua tahu ada pelanggaran, tapi semua pura-pura sibuk. Hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Padahal ini bukan sekadar pelanggaran izin — ini kejahatan terhadap bumi, terhadap masa depan anak cucu kita. Tapi siapa peduli masa depan, kalau masa kini bisa dibeli?
Jika Parq Ubud dulu dianggap noda, maka Pejarakan adalah luka terbuka yang bernanah. Dan jika akhirnya vila itu tetap berdiri, beroperasi, dan berkilau di atas tanah yang dirampas, maka jangan lagi bicara pelestarian, jangan lagi pura-pura marah. Sebab marah tanpa keberanian adalah kemunafikan. Kita sedang hidup di zaman ketika hutan tidak ditebang diam-diam — tapi dirampas dengan senyum dan seremoni. Banyak yang berfoto di bawah spanduk “Selamatkan Lingkungan”, sementara di belakangnya, ekskavator bekerja. Ketika gadis yang bernama lingkungan diperkosa ramai-ramai, lalu dibiarkan terbaring di tanah, kehilangan perawan, kehilangan harga diri — dan tak seorang pun mau menjadi saksi.
Inilah dunia paradoks: di mana yang suci dijual, yang salah disembunyikan, dan yang benar dibiarkan sekarat. Dan bila kelak hutan-hutan di Bali hanya tinggal nama, jangan bilang kita tidak tahu siapa pemerkosanya — sebab wajahnya ada di cermin. Semoga banjir Pagerwesi sungguh-sungguh membongkar segala kebobrokan yang dilakukan para pendahulu kita di gumi tenget ini.
Denpasar, 15 Oktober 2025
2.65K
141