Oleh: Yohanes Nahak, S.Pd*
Di pemukiman kaki bukit,
di jantung waktu yang menyulam harapan,
Semesta berdiri—bukan sekadar nama,
tapi gema tekad dan pantulan hati nurani anak bangsa.
Bukan batu yang ditanam,
melainkan benih harapan yang tumbuh.
Bukan tembok yang dibangun,
melainkan pelukan pengetahuan yang abadi.
Tiang-tiangnya tidak kuat,
melainkan semangat warga negara,
menulis masa depan di papan langit Nusantara.
Bukan batu dan semen yang mengokohkannya,
melainkan cita, cinta, dan cahaya dari hati
yang percaya bahwa pendidikan adalah ibadah,
dan ilmu adalah syukur yang abadi.
Kami percaya, pendidikan bukanlah kemewahan, melainkan hak,
seperti udara yang dihirup petani,
seperti doa yang dibisikkan ibu di subuh dini—
tak terlihat, namun menopang hingga jiwa abadi.
Lihatlah, guru bukan sekadar mengajar;
ia menyalakan api dari abu yang nyaris padam.
Tangan keriputnya bukan tanda lelah,
kecuali hujan maksudnya,
menyiram benih mimpi anak-anak bangsa.
Partisipasi bukan hadir semata,
tetapi jiwa yang merunduk rendah,
seperti siswa membawa kursi reyot ke kelas,
ibu menjual hasil kebun demi sebuah buku,
pemuda mengajar, les di lopo kecil desa,
semua berdampingan dengan cita-cita,
menyulam harap dalam anyaman budaya.
Ayah memayungi anak di pagi gerimis,
ibu menyulam seragam dari sisa benang,
tetangga memberikan pena, bukan karena kaya,
melainkan karena tahu: ilmu lebih tajam dari senjata.
Partisipasi menjelma dalam tangan yang berbagi,
langkah yang tak terlupakan,
dan hati yang rela menjadi jalan bagi orang lain untuk berjalan.
Lihatlah ayah mengulurkan cangkul di pagi hari gelap,
agar anaknya bisa menggenggam pena di siang hari terang.
Lihatlah ibu menyulam harapan di balik tirai duka,
karena aku tahu:
buku lebih tajam dari pedang,
dan doa lebih kuat dari derita.
Di sini, budaya bukan hiasan,
tetapi napas yang mengalir di sela dialog kelas.
Kami belajar dari pantun dan peribahasa,
menulis dari tenunan kain yang berbicara,
membaca dari gong dan tambur yang bersuara,
dan menyimak dari menyalakan biola dan dentingan ukulele yang lirih.
Kami menulis aksara di atas tanah leluhur,
agar setiap huruf dihilangkan dalam tanah,
dan setiap kata berbuah akhlak.
Spiritual bukan sekadar ritual,
tapi nilai yang menyalakan nurani.
Kami tidak hanya ingin pintar,
kami benar-benar menginginkannya,
karena ilmu tanpa iman
adalah menara tanpa beban.
Ya, disana...
Ada ironi di zaman modern:
Gedung berbintang langit merayakan kecanggihan,
sementara masih ada anak
merangkai cita di bawah langit yang meneteskan air mata.
Namun di Semesta, kami bukan pengeluh—
kami adalah penyalur cahaya,
mengubah kekurangan menjadi keunggulan.
Semesta bukan bangunan,
melainkan jantung yang berdenyut,
mengalirkan nilai dari kitab ke kehidupan,
mengubah aksara menjadi akhlak,
dan ilmu menjadi amal yang tak lekang oleh zaman.
Kami menyulam spiritual dalam struktur kurikulum,
bukan sekedar angka,
tapi cahaya yang membimbing,
karena ilmu tanpa iman
adalah bintang tanpa malam—
bersinar, tapi tak bermakna dalam pandangan Tuhan.
Partisipasi Semesta bukan gema kosong,
melainkan denyut nadi dari semua yang peduli:
guru yang menulis dengan peluh,
siswa yang bermimpi meski berpeluh,
masyarakat yang tak punya banyak,
tetapi pemberi yang terbaik.
Kami tidak hanya menyalakan lampu,
kami menjadi pelita—
mengusir gelap bukan hanya dari ruang kelas,
tetapi dari dalam diri manusia.
Ada ironi di negeri ini:
Gedung-gedung tinggi menjulang di kota,
namun masih ada siswa yang menulis di bawah gubuk rapuh.
Tetapi di Semesta, kami menjawab ironi itu—
dengan tindakan, bukan ilusi.
Lagu-lagu daerah mengalun di lorong-lorong kelas,
doa lintas keyakinan melingkupi pagi.
Kami tidak hanya ingin pintar,
tetapi sadar:
manusia mulia bukan karena tahu,
melainkan karena tahu diri.
Kemajuan bukan hanya tentang gawai dan digitalisasi,
melainkan tentang nilai di balik setiap klik.
Bagaimana anak berselancar di dunia maya,
tanpa tenggelam dalam lautan kehilangan makna.
Kami ingin murid berpikir seperti ilmuwan,
berjiwa seperti wali,
berkarya seperti seniman,
dan hidup seperti manusia.
Kemajuan bukan hanya tentang jaringan internet,
tetapi jaringan jiwa tentang yang saling menopang.
Teknologi penting,
tapi tak lebih penting dari budi pekerti.
Seperti cahaya dari layar—
bisa menjadi pelita, atau bara,
tergantung siapa yang merawat.
Kami tak hanya ingin siswa yang ahli,
tetapi juga rendah hati.
Inilah Semesta—tangga kecil menuju Cakrawala,
di mana setiap langkah adalah upaya,
setiap suara adalah doa,
dan setiap mata bersinar
adalah cermin masa depan Indonesia yang mengesankan.
Semesta adalah taman benih masa depan.
Di setiap langkahnya, tumbuhlah harap.
Di setiap suaranya, hidup makna.
Pada setiap siswanya,
terpatri mimpi untuk Indonesia yang merdeka seutuhnya—
bukan hanya merdeka dari penjajahan,
tetapi dari ketidaktahuan, kebusukan,
dan ketidakadilan dalam pendidikan.
"Pendidikan bermutu bukan hanya dicapai,
tetapi diperjuangkan—oleh semua, untuk semua,
demi kemanusiaan yang utuh.
Mari kita jadi bagian dari nyala itu,
sebelum gelap menjadi terlalu pekat untuk menangkap cahaya."
Wujudkan...
“Pendidikan bermutu adalah ikhtiar bersama.
Ia hidup dalam hati yang mau memberi,
tangan yang mau bekerja,
dan jiwa yang mau terus belajar."
Karena...
Semesta bukan tempat,
tapi jiwa yang tak pernah padam.
*Yohanes Nahak, S.Pd adalah seorang pengawas sskolah dan penulis yang aktif di bidang literasi kemanusiaan dan pendidikan berbasis budaya
2.38K
132