Sabtu, 01 Nov 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Mereka Yang Terpasung
Inspirasi Indonesia Maju
Penulis: Nasih Widya Yuwono*
Style - 31 Jul 2025 - Views: 190
image empty
Foto Istimewa
Foro: Nasih Widya Yuwono, S.P., M.P., Dosen Ilmu Tanah, Universitas Gadja Madah

Kesedihan tidak datang mengetuk pintu. Ia menyelinap masuk dalam diam, menetap tanpa permisi, dan meninggalkan bekas yang tak bisa dihapus oleh waktu. Ia tidak butuh alasan untuk hadir; cukup dengan keheningan, bayangan masa lalu, atau bahkan senyuman orang lain, ia muncul, menyelimuti hati dalam kabut yang tidak terlihat, namun terasa menusuk sampai ke dasar jiwa.

Aku mengingat dengan jelas saat pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu dalam diriku yang tidak lagi utuh. Bukan karena kehilangan seseorang secara fisik, melainkan kehilangan yang bersumber dari dalam: sebuah jarak antara harapan dan kenyataan, antara keinginan untuk hidup dan realitas yang enggan memberi ruang. Hari-hari berlalu bukan seperti angin yang menyapa, tapi seperti beban yang harus diseret, satu per satu, tanpa tahu kapan akan berakhir. Hidup terasa seperti penjara tanpa jeruji aku bebas berjalan, tertawa, bahkan bercanda, namun semua itu hanya kulit luar dari jiwa yang terpasung.

Kesedihan sering kali tidak hadir dalam bentuk air mata. Ia bisa saja tersembunyi dalam tawa yang terlalu keras, dalam senyum yang terlalu lebar, atau dalam keheningan yang terlalu panjang. Aku belajar menyembunyikannya dengan rapi, karena dunia tidak suka mendengar keluhan. Dunia lebih menyukai cerita tentang keberhasilan, motivasi, dan keberanian menghadapi tantangan. Maka aku belajar menjadi aktor, memainkan peran dalam lakon kehidupan, berpura-pura bahagia agar tidak membebani siapa pun. Namun dalam sunyi, dalam gelap malam ketika hanya suara detik jam yang terdengar, kesedihan itu datang menyergap dengan kekuatan yang tak terelakkan. Aku duduk, membeku dalam keheningan, merasakan dada yang sesak tanpa tahu mengapa. Tidak ada luka yang bisa ditunjukkan, tidak ada sebab yang bisa dijelaskan, hanya rasa hampa yang tak terdefinisikan. Inilah paradoksnya: orang yang terlihat kuat bisa sangat rapuh, dan orang yang selalu hadir untuk orang lain bisa merasa paling kesepian.

Aku mengenal seseorang yang setiap harinya memberikan semangat pada orang lain. Ia menulis kalimat-kalimat indah, menginspirasi banyak orang dengan kata-katanya. Namun di balik semua itu, ia sendiri berperang dengan pikirannya. Setiap malam ia menangis, merasa tak berarti, dan terus bertanya-tanya apakah hidup ini memang layak untuk diperjuangkan. Ia tidak pernah meminta bantuan, karena takut dianggap lemah. Dan akhirnya, ia pun tumbang dalam sunyi, seperti lilin yang padam saat tak ada lagi oksigen.

Kesedihan tidak selalu berarti duka karena kehilangan seseorang. Ia juga bisa tumbuh dari pengabaian, dari harapan yang terus-menerus dihancurkan, dari kegagalan yang tak henti datang. Ia bisa berasal dari rutinitas yang membosankan, dari perasaan bahwa hidup hanya berputar-putar tanpa arah. Kesedihan seperti ini lebih berbahaya, karena ia tidak terlihat dramatis, tidak mengundang simpati, namun perlahan mengikis semangat dari dalam, seperti karat pada besi.

Aku mulai merasakan bahwa hidup seperti labirin, dan aku berjalan tanpa peta. Setiap kali berpikir telah menemukan jalan keluar, aku justru menemui tembok yang lebih tinggi. Di saat seperti itu, kesedihan terasa seperti tangan yang menarikku ke bawah, menenggelamkanku dalam lautan kegelapan. Aku berteriak, tapi tidak ada yang mendengar. Mungkin mereka mendengar, tapi tidak mengerti. Atau mungkin mereka mengerti, tapi memilih untuk tidak peduli.

Ada hari-hari ketika aku ingin berhenti. Bukan karena aku lelah berjuang, tapi karena aku merasa tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Cita-cita yang dulu menyala terang kini tinggal bara. Relasi yang dulu menghangatkan kini terasa dingin. Dunia terus berjalan, namun aku tertinggal di satu titik, tidak mampu bergerak maju. Aku mencoba mengingat kembali siapa diriku sebelum semua ini, namun wajah itu kini terasa asing. Aku bahkan ragu apakah aku benar-benar pernah bahagia.

Kesedihan mengajarkan bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan dengan waktu. Beberapa luka justru makin dalam karena waktu karena terus dibiarkan terbuka, tanpa perawatan, tanpa pengakuan. Orang-orang berkata, “Sabar, semua akan baik-baik saja.” Tapi kata-kata itu, meski berniat baik, sering terasa seperti penghinaan terhadap rasa sakit yang nyata. Kadang, aku tidak butuh nasihat. Aku hanya ingin didengar. Didengarkan, tanpa dihakimi, tanpa dinasihati, tanpa dibandingkan dengan penderitaan orang lain.

Aku pernah mencoba menulis tentang kesedihanku, berharap bahwa kata-kata bisa menjadi jembatan untuk memahami perasaanku sendiri. Tapi yang kutulis hanya serpihan-serpihan yang tidak menyatu. Kata-kata gagal menangkap kedalaman perasaan. Bahkan puisi pun tak mampu menampung seluruh duka yang ada. Kesedihan ini terlalu kompleks untuk dijelaskan, terlalu pribadi untuk dibagikan, dan terlalu menyakitkan untuk dikenang.

Dan dalam semua ini, aku menemukan ironi: bahwa di tengah kesedihan, aku menjadi lebih peka. Aku mulai melihat luka dalam diri orang lain. Aku melihat bagaimana orang menyembunyikan rasa sakitnya di balik rutinitas, bagaimana mereka berusaha tampak baik-baik saja demi tidak mengecewakan orang lain. Aku menyadari bahwa banyak di antara kita yang terpasung, bukan oleh orang lain, tapi oleh ekspektasi sosial, oleh tekanan untuk selalu kuat, oleh ketakutan untuk menunjukkan sisi rapuh.

Ada saatnya aku duduk di taman, memandang langit, dan bertanya kepada Tuhan: mengapa hati manusia begitu mudah terluka? Mengapa cinta yang seharusnya menguatkan justru sering menyisakan luka? Mengapa harapan yang seharusnya menjadi cahaya justru bisa menjadi beban? Tapi tidak ada jawaban yang datang. Hanya angin yang lewat, seolah ingin menyentuh pipiku yang basah oleh air mata. Mungkin Tuhan tidak menjawab karena Dia tahu, aku hanya butuh ditemani, bukan dijelaskan.

Dalam keheningan yang panjang itu, aku mulai memahami bahwa kesedihan bukan musuh. Ia adalah bagian dari hidup, bagian dari kemanusiaan. Tanpa kesedihan, aku tidak akan tahu bagaimana menghargai kebahagiaan. Tanpa kehilangan, aku tidak akan tahu betapa berharganya memiliki. Kesedihan adalah cermin, yang memantulkan siapa diriku sebenarnya, tanpa topeng, tanpa kepura-puraan.

Aku masih terpasung, tapi kini aku tahu bahwa aku tidak sendiri. Di luar sana, banyak jiwa yang juga terluka, banyak hati yang juga mencoba bertahan. Dan dalam kesadaran itu, perlahan, aku mulai belajar menerima. Bukan menyerah, tapi menerima: bahwa tidak semua luka harus cepat sembuh, bahwa tidak semua kesedihan harus segera diusir. Ada yang harus dijalani, ada yang harus dirasakan, agar aku bisa tumbuh.

Hari demi hari, aku mulai mencoba berdamai. Dengan diriku sendiri, dengan masa lalu, dengan kesalahan-kesalahan yang pernah kubuat. Aku tahu perjalanannya panjang, dan bisa saja aku jatuh lagi. Tapi setidaknya kini aku tahu, aku tidak harus selalu kuat. Aku boleh menangis. Aku boleh lelah. Aku boleh mengakui bahwa aku terluka. Karena justru dalam pengakuan itulah, aku menemukan sedikit kebebasan.

Terpasung bukan berarti mati rasa. Justru di dalamnya, aku menemukan sisi terdalam dari perasaanku. Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika aku berhasil melepaskan semua belenggu ini, aku akan menoleh ke belakang dan berkata: “Aku pernah sedih, tapi aku tidak menyerah.”

 

*Penulis adalah Nasih Widya Yuwono, S.P., M.P. Pebulis dan Dosen Ilmu Tanah, Universitas Gadja Madah