Semalam saya pulang dari Jakarta. Pesawat mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, pintu gerbang surga yang berdenyut oleh deru mesin dan langkah kaki para wisatawan.
Dari jendela pesawat, lampu-lampu Bali berkilat seperti mutiara di dada samudera. Sebelumnya, di Soekarno-Hatta, antrian menuju Bali begitu panjang—penerbangan ke pulau kecil ini seperti tak pernah jeda.
Bali ramai. Bali hidup. Bali menyenangkan. Uang tumpah ruah di pulaunya para Dewa ini. Logikanya, Bali sejahtera. Tak kalah dengan Singapura, Thailand, Bhutan dan negara pariwisata lainnya. Namun betapa sering telinga ini mendengar perbandingan yang tak sebanding: “Singapura lebih maju. Singapura lebih makmur. Singapura lebih bahagia.” Lalu dengan enteng kesimpulan dijatuhkan—Singapura lebih baik dari Bali. Padahal, bagaimana mungkin membandingkan bunga kamboja di halaman pura dengan gedung kaca di Marina Bay? Satu tumbuh dari tanah yang disiram doa, satu tumbuh dari sistem yang disiram uang.
Bali hanyalah sebuah provinsi, sepetak wilayah dari Republik Indonesia yang besar. Sedangkan Singapura, sebuah negara berdaulat. Di situlah letak paradoksnya: yang satu tunduk pada pusat, yang satu adalah pusat itu sendiri.
Bayangkan seandainya Bali menjadi negara, memiliki otoritas penuh atas tanah, langit dan lautnya. Maka Bandara Ngurah Rai akan menjadi tambang emas tanpa perlu menggali tanah. Setiap pesawat yang datang dan pergi menyetor rezeki. Dari airport tax, dari sewa ruang komersial yang harganya seperti udara—tak terlihat tapi mahal luar biasa. Dari parkir pesawat, parkir mobil, hingga kendaraan berplat khusus yang lalu-lalang di areal bandara, semuanya menghasilkan uang.
Jika semua itu menjadi milik Bali, pulau ini sudah kaya raya bahkan tanpa perlu menjual satu pun vila di tepi pantai. Dari Bandara saja sudah kaya raya. Namun kenyataannya, semua mengalir ke pusat. Bandara dikelola PT Angkasa Pura, dan Bali hanya menatap dari kejauhan, menerima limpahan turis tetapi juga limpahan sampah dan kemacetan.
Paradoksnya: Pulau dikendali atas senyum
Itu baru dari udara. Dari laut pun sama kisahnya. Pelabuhan Benoa, Padangbai, Gilimanuk—semuanya punya pengelola dari pusat: PT Pelindo, PT ASDP. Pendapatan melimpah, tapi kas daerah hanya merasakan percikannya. Selebihnya hanyalah DAU, DAK, dan dana bagi hasil—sebuah sistem yang membuat daerah seperti anak yang diberi uang saku dari hasil keringat sendiri. Di sektor pariwisata pun begitu. Delapan puluh lima persen hotel dan akomodasi diatur oleh lisensi dan kebijakan yang bukan dari Bali. Ia sebagian besar tidak milik Bali. Padahal dari pasir hingga ombak, dari gamelan hingga dupa, semuanya adalah Bali. Di titik inilah dunia paradoks itu menampakkan wajahnya. Bali, yang setiap hari memberi kebahagiaan bagi jutaan manusia dari seluruh penjuru bumi, belum tentu bisa memberi kebahagiaan sebesar itu bagi warganya sendiri. Sementara Singapura, negara kecil di utara, mengatur segalanya sendiri—pelabuhan, bandara, bahkan setetes air hujan menjadi kewenangannya.
Andai Bali diberi kewenangan penuh, barangkali pulau ini akan menjelma menjadi negara kecil yang makmur, menandingi bahkan melampaui Singapura. Tapi kini, ia tetap menjadi taman indah yang dijaga oleh tangan yang tak sepenuhnya berkuasa atas dirinya sendiri.
Paradoks itu sederhana: Bali adalah etalase dunia, tapi kuncinya dipegang orang lain. Singapura adalah ruang kerja kecil, tapi pemiliknya tunggal dan tegas. Maka, membandingkan keduanya seperti menimbang dupa dengan dinamit—keduanya sama-sama berasap, tapi yang satu untuk menenangkan jiwa, yang lain mengguncang bumi. Dan semalam, ketika saya melangkah keluar dari bandara, di antara bau avtur dan dupa, saya sadar: Bali bukan kalah dari Singapura—ia hanya berbeda takdir. Yang satu berdaulat, yang lain berdaun kelapa. Namun keduanya tetap bercahaya di peta dunia, hanya saja cahaya Bali terlalu banyak disinari matahari yang bukan miliknya sendiri.
Denpasar, 20 Oktober 2025
2.65K
141