Sabtu, 01 Nov 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Leluhur dan Tanah, Menyoal Guyon, Nusron Wahid
Inspirasi Hidup
Penulis: Murdiono Mokoginta*
Sorot - 13 Aug 2025 - Views: 138
image empty
Ilustrasi lidahrakyat.com

“Lopa bo blangon tompiaan naton, sin tua bi’ lipu mogoguyang…”
“Alam dan Lautan dijaga dan dilestarikan, karena itu tanah leluhur…”
(Lirik sebuah lagu dari Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara)

Entah apa yang ada dalam pikiran Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid sehingga mengeluarkan pernyataan yang pada akhirnya menimbulkan polemik di publik soal “kebijakan pemerintah mengambil alih tanah rakyat”. Mungkin dalam anggapan pak menteri, setiap orang yang punya tanah pasti juga punya uang atau modal?! Punya simpanan bank semudah beliau menarik gaji dari mesin ATM. Padahal bila melihat pakai hati nurani, tiap masyarakat yang punya tanah ‘nganggur’ pasti punya alasan tertentu sehingga tanahnya dibiarkan ditumbuhi semak belukar. Ada yang sudah enam bulan tak disentuh, setahun dibiarkan, bahkan puluhan tahun terlantar. Alasan yang paling masuk akal dari orang-orang ini adalah ketiadaan ‘modal’ untuk menggarap atau memanfaatkan lahan mereka.

Ada juga yang sudah punya modal tapi uang simpanan kemudian digunakan untuk membayar biaya kuliah anak, untuk kebutuhan sehari-hari, dan kadang mungkin digunakan membayar hutang yang lagi-lagi untuk keperluan mendesak seperti pengobatan sakit, hajatan keluarga, modal buat anak nikah, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia diberbagai pelosok tanah air. Sungguh tragis membayangkan bila tanah rakyat diambil negara hanya karena vonis subjektif pemerintah tentang penelantaran tanah. Apalagi rencananya tanah-tanah itu diberikan kepada organisasi-organisasi untuk dikelolah. Seseorang bisa kehilangan tanah warisan atau tanah milik keluarga yang telah dijaga secara turun temurun. Padahal dari tanah-tanah itu rakyat juga bergantung akan penghidupan mereka.

Banyak rakyat kecil kita kenyataanya cuma punya tanah tapi tidak punya modal untuk mengelolah. Tidak semua rakyat yang punya tanah memiliki modal ‘gede’ seperti beberapa konglomerat besar di Indonesia. Kebanyakan tanah rakyat hanya dikelolah seadanya dari uang hasil pinjaman rentenir, pinjaman koprasi simpan-pinjam, bahkan banyak yang menunggak di bank swasta atau punya pemerintah (BUMN/BUMD). Persoalan tanah rakyat yang terlantar bukan hanya diukur oleh pemerintah dari berapa lama tidak digarap atau berapa banyak belukar dan ilalang yang tumbuh di atas tanah nganggur. Tapi lebih dari itu, tengoklah kantong-kantong rakyat kecil apakah mereka punya uang untuk mengurus tanah yang mereka punya atau ketiadaan modal memaksa mereka menelantarkan lahan-lahan mereka.

Menjelang HUT Kemerdekaan Indonesia yang tinggal beberapa hari ini harusnya pemerintah membuat rakyat merayakan dengan gempita. Belum selesai polemik pemblokiran ATM oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada ATM yang dianggap nganggur (tanpa transaksi), kini tanah rakyat juga mau dirampas hanya karena tidak digarap alias nganggur juga.

Selain itu ada pula ucapan Menteri ATR/BPN yang paling menggelitik yaitu saat beliau menyerapahi ‘leluhur’ soal tanah. Baru-baru ini pada sebuah acara Ikatan Surveyor Indonesia, Jakarta (6/08), Nusron Wahid mengeluarkan pernyataan yang kurang menyejukan seperti kata beliau:

“Tanah itu tidak ada yang memiliki, itu tanah negara. Orang itu hanya menguasai, negara memberikan hak kepemilikan. Tapi ini tanah mbah saya, leluhur saya. Saya mau tanya, emang mbah atau leluhur bisa membuat tanah?”

Ironi bagi seorang menteri yang menjabat bidang ATR/BPN berucap sesuatu yang bahkan penjajah Belanda di zaman kolonial sekalipun tidak terfikir untuk berucap seperti itu. Penyataan “emang mbah atau leluhur bisa membuat tanah?” adalah pernyataan yang sulit dipercaya bisa keluar dari seorang menteri yang mengurus pertanahan di negeri ini.

Sesungguhnya leluhur dan tanah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan bila kita membaca sejarah agraria sejak era pra-kolonial, masa kolonial, hingga Indonesia modern saat ini. Bila membaca sejarah adat dan budaya di beberapa wilayah Indonesia, kita pasti akan menemukan keterkaitan antara tanah, leluhur, penguasa (raja-raja atau tuan tanah), dan rakyat. Empat hal itu banyak diatur dalam berbagai hukum adat di masyarakat Nusantara yang hidup sejak era pra kolonial. Menurut pakar hukum agraria Indonesia, B.F. Sihombing dalam Sejarah Hukum Tanah Indonesia (2018: 3) hukum adat sebagai hukum yang mempunyai corak dan sistem sendiri, tidak dipersoalkan (pemerintah VOC-Belanda), VOC bahkan membiarkan rakyat hidup menurut adat dan kebiasaannya. Semua itu termasuk yang berkaitan dengan soal-soal tanah dan asal-usulnya.

Beberapa wilayah atau kerajaan di masa lalu tetap mengakui hak komunal atas kepemilikan tanah. Beberapa kerajaan atau masyarakat adat tertentu bahkan percaya bahwa tanah mereka adalah tanah peninggalan (warisan) leluhur yang wajib untuk terus dijaga dan dirawat secara turun temurun. Hal ini berlaku di beberapa masyarakat atau komunitas adat di Indonesia yang dalam tiap tradisi membuka lahan di tempat yang belum terjamah sekalipun (belantara), mereka tetap meminta izin kepada ruh nenek moyang melalui ritual/ritus tertentu sebelum melakukan penumpasan untuk membuka lahan/perkebunan baru demi penghidupan masyarakat (kolektif/komunitas) mereka.

Keterkaitan antara tanah dan leluhur di Nusantara nyatanya tidak hanya hidup dalam kepercayaan, keyakinan mereka. Beberapa karya sastra bahkan dilahirkan untuk mengabadikan dan menghargai nilai-nilai kesakralan tanah leluhur dan hubungannya dengan kita yang masih hidup. Beberapa karya seperti “Petuah tanah leluhur: kumpulan cerita rakyat Kalimantan Barat, Babad Tanah Leluhur: Api Berkobar di Karang Sedana, Babad Tanah Leluhur: menelusuri Jejak Kehidupan Masyarakat Jawa Kuno, dan puluhan karya lainnya lahir dari rahim imajinasi masyarakat asli Nusantara sejak dahulu kala. Beberapa komunitas adat Nusantara juga hingga kini masih ada yang tetap memelihara tradisi berkomunikasi dengan leluhur sebelum membuka lahan di wilayah yang mereka lindungi dan hargai. Ritual Tung Piong dari Nusa Tengara Timur (NTT) misalnya, ada dalam upacaranya yang bernama Mahe Rego Tana Bait dilakukan pada saat mau mebuka lahan atau membangun rumah. Tujuan ritual ini dilakukan adalah untuk menghargai nenek moyang mereka. Ada juga masyarakat Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara yang hingga kini masih menjaga tradisi penghargaan terhadap nenek moyang mereka bila hendak membuka lahan baru (monalun) untuk penghidupan mereka. Ada kebiasaan orang Mongondow apabila melihat kebun atau wilayah yang luas maka berkatalah mereka “Naadon talun i Bolokasi”, artinya: “Bagai belukar yang ditumpas oleh Bolokasi” (Dilapanga, 1962: 5). Bolokasi adalah nama leluhur yang dipercaya sebagai orang pertama yang membuka (nonalun) tanah yang ada di Pedalaman Mongondow (Lopa in Mogutalong), kini Kota Kotamobagu dan sekitarnya. Memori kolektifitas masyarakat Nusantara tidak pernah memisahkan keterkaitan antara tanah dan keberadaan leluhur dalam cerita rakyat atau asal-usul budaya mereka. Dalam setiap epos, babad, kisah masa lalu, asal-usul bangsa Nusantara, selalu ada keyakinan bahwa peradaban terlahir dari satu orang yang telah membuka pertama kali wilayah, tempat tinggal, pemukiman, desa, dan sebagainya yang di masa kini kita hargai sebabai leluhur sebuah suku bangsa.

Cerita rakyat Jawa mengenal sosok Aji Saka, masyarakat Bugis mengenal sosok Batara Guru, Bolaang Mongondow mengenal Gumalangit dan Tendeduata, Minahasa mengenal Toar dan Lumimuut, sosok-sosok ini dikenal sebagai leluhur peradaban Nusantara yang hidup dalam tradisi lisan masyarakatnya. Ucapan Nusron Wahid “Emang mbah atau leluhur bisa membuat tanah?” secara tidak sadar telah melukai puluhan bahkan ratusan komunitas adat di Indonesia, wilayah eks swapraja yang masih menjaga tradisi pennghargaan terhadap nenek moyang dan tanah. Masyarakat ini selama ribuan tahun turun temurun, generasi ke generasi menjaga tanah air, warisan leluhur mereka agar tetap lestari dan menghijau oleh alam.

Tiba-tiba entah darimana seseorang menteri berkata bahwa leluhur tidak memiliki andil atas tanah air Indonesia yang bahkan oleh pemerintah kolonial sekalipun mungkin tidak pernah terucap. Pemerintah kolonial di masa lalu masih tetap mengakui hak-hak adat dan semua memori kolektifitas tentang leluhur dan warisannya termasuk soal tanah. Sebelum Indonesia lahir 80 tahun yang lalu, telah ada nenek moyang, leluhur masyarakat adat Nusantara yang eksis dan berjasa membuka tanah-tanah negeri sebagai warisan bagi anak cucu bangsa.

 

*Penulis adalah Sejarawan, Peneliti Sejarah Lokal di Sulawesi Utara