Sabtu, 01 Nov 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Ketika Alter Ego Menjadi Ikon Pop: Refleksi dari Pameran "The World of Pictolo" di Galeri Raos Pondok Seni Batu
Inspirasi Indonesia Maju
Penulis: Akaha Taufan Aminudin*
Style - 27 Oct 2025 - Views: 40
image empty
Dok. lidahrakyat.com
Foto Pribadi, Drs. Akaha Taufan Aminudin, Penulis, Pengamat seni dan budaya yang terus mendalami harmoni antara tradisi dan modernitas di kaki Gunung Panderman, Kota Batu

Pameran tunggal seniman Watonisays bertajuk The World of Pictolo bukan sekadar ajang pamer visual, melainkan wacana filosofis tentang alter ego yang dipadukan dengan seni pop dan budaya Jawa timur. Melalui karakter ikonik Pictolo, pameran ini mengajak kita untuk merenungkan diri dalam dinamika sosial yang penuh “omic kosong”.

Dari galeri hingga merchandise, Pictolo membuktikan bagaimana seni dapat menjadi jembatan antara tradisi dan pop culture yang kian mendunia. Artikel ini mengupas kedalaman makna pameran sekaligus kisah suksesnya sebagai fenomena seni yang merangkul banyak kalangan.

Pictolo: Wajah Sederhana dengan Banyak Cerita

Pertama-tama, mari kita tengok sosok ikonik yang menjadi pusat pameran: Pictolo. Dengan kepala bulat dan tanda silang minimalis di dahinya, Pictolo memang terlihat polos, sederhana. Namun dari dalam kesederhanaan itu terpatri kekuatan simbolik yang mengusik pikiran—siapakah “alter ego” ini? Dalam konteks modern yang semakin hiruk-pikuk ini, Pictolo menjadi cermin bagi kita yang sering berbalut persona berganda, menyembunyikan diri di balik wajah yang berbeda-beda. Menurut kajian budaya modern, alter ego seringkali muncul sebagai bentuk coping mechanism—cara kita beradaptasi dengan lingkungan yang kompleks.

Watonisays dengan piawai mengemasnya dalam bahasa visual yang mudah menyentuh berbagai kalangan usia, serta diterima oleh komunitas seni dan masyarakat luas.

Dari Galeri ke Panggung, Keindahan Kolaborasi Lintas Disiplin

Pameran ini bukan hanya tentang lukisan-lukisan menggoda mata seperti FULL OF HOT AIR, yang dengan satir mengkritik kebisingan sosial. Kemeriahan acara pembukaan oleh Dr. Slamet Henkus, S.H., M.M., Ketua Dewan Penasehat Satupena Jatim, menegaskan betapa seni rupa berdialog erat dengan sastra dan budaya lokal. Ketika suara jazz vokal cilik KARA, paduan suara NAJMA, serta puisi kritis dari Ocha menghiasi ruang, kita dihadapkan pada sebuah ekosistem seni yang utuh.

Seni bukan lagi monolog visual, melainkan simfoni nuansa ruh dan cerita yang mengalir, menyentuh beragam indera dan semangat kebersamaan. Kebaruan ini menjadi magnet yang mengundang berbagai generasi, menjembatani perbedaan zaman dengan kemesraan seni.

Filosofi “YO DIDELOK YO DIKEKER” : Menyimpan Makna di Balik Simbol

Satu hal menarik adalah instalasi loker berjudul “YO DIDELOK YO DIKEKER (LOCKER)” yang membawa kita pada renungan mendalam: betapa seringnya kita hanya melihat permukaan tanpa benar-benar memahami atau “menyimpan” makna di baliknya. Filosofi Jawa yang sederhana namun kaya makna ini mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru menilai atau melewatkan arti sebuah karya—bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita diajak untuk menjadi penonton aktif, yang bukan sekadar menatap tetapi juga mencerna setiap pesan dan geliat emosi yang ditorehkan sang seniman.

Pictolo Melangkah ke Dunia Nyata: Seni dalam Genggaman Kita

Salah satu hal yang menjadikan pameran ini unik adalah keberhasilan Watonisays membawa alter ego Pictolo dari kanvas ke merchandise. Mulai dari totbag, pin, bantal, hingga kemeja, semua itu menyulap seni dari sesuatu yang hanya bisa dinikmati secara visual menjadi bagian dari gaya hidup dan identitas penggemar.

Menurut survei tren budaya pop modern, merchandise yang berhubungan dengan karakter unik seperti Pictolo bisa meningkatkan kedekatan emosional konsumen dengan karya seni hingga 40% (Sumber: Pop Culture Consumer Trends 2024). Ini bukan hanya soal pemasaran, melainkan seni yang menjelma menjadi bagian dari keseharian, membangun komunitas dan identitas kolektif.

Penutup: Berbeda untuk Bersama, Membedakan tanpa Memisahkan

Apa yang bisa kita bawa pulang dari "The World of Pictolo" lebih dari sekadar visual menawan? Saya percaya, pesan utama Watonisays adalah ajakan untuk berani berbeda, tetapi tetap bersama—sebuah filosofi indah yang diperlukan di zaman fragmentasi sosial seperti sekarang. Pictolo mengajarkan kita bahwa identitas itu cair dan bisa disentuh setiap insan, sekaligus menjadi pengikat dalam keberagaman.

Sebagaimana kata Watonin Says, “BerBEDA untuk berSAMA,” semangat ini menjadi koreografer utama perjalanan kita dalam berkesenian dan bermasyarakat.

Artikel ini diharapkan dapat mengajak pembaca merefleksikan konsep alter ego, serta meningkatkan apresiasi terhadap karya seni kontemporer yang merangkul identitas dan nilai budaya lokal dengan nuansa universal.

Selamat sukses untuk Sedulur Satupena dan seluruh komunitas kreatif di Galeri Raos! Semoga pameran ini menjadi inspirasi dan pemantik percakapan bermakna tentang seni, kehidupan, dan diri kita sendiri.


*Penulis adalah Drs. Akaha Taufan Aminudin, Penulis, Pengamat seni dan budaya yang terus mendalami harmoni antara tradisi dan modernitas di kaki Gunung Panderman, Kota Batu.