LIDAHRAKYAT.COM-Penurunan nilai Matematika pada Tes Kompetensi Akademik (TKA) 2025 yang terjadi di hampir seluruh provinsi menjadi alarm merah di momentum Hari Guru Nasional.
Anjloknya performa ini bukan hanya angka statistik, tetapi cermin masalah besar dalam desain pendidikan kita.
Ketika publik bereaksi keras, Mendikdasmen Abdul Mu’ti menegaskan, “Bukan muridnya yang salah. Pernyataan ini menenangkan telinga, namun menyisakan pertanyaan yang lebih kompleks: Jika murid tidak salah, siapa yang harus bertanggung jawab atas jebloknya nilai Matematika?
Guru, kebijakan, sekolah, fasilitas, atau seluruh ekosistem pendidikan? Padahal, berdasarkan indikator keberhasilan belajar, 49% ditentukan oleh diri siswa, 30% oleh guru, serta masing-masing 7% oleh manajemen sekolah, orang tua, dan rekan sebaya. Pernyataan “murid tidak salah” tentu relevan secara moral, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan masalah sebesar penurunan nasional.
Kurikulum Melaju Kencang, Kesiapan Lapangan Tertinggal Jauh
Salah satu akar persoalan adalah percepatan perubahan kurikulum yang tidak sebanding dengan kesiapan sekolah. Guru Matematika di berbagai daerah mengaku belum menerima pelatihan mendalam, atau pelatihan hanya berupa seminar singkat tanpa pendampingan nyata.
Kurikulum yang menuntut numerasi kontekstual, proyek pemecahan masalah, dan asesmen formatif berbenturan dengan realitas kelas yang tak seideal itu. Di sini muncul pertanyaan kritis: Apakah wajar mengharapkan performa optimal ketika faktor keberhasilan peran guru menjadi terhambat oleh kebijakan yang bergerak lebih cepat dari kapasitas lapangan?
Ketimpangan Fasilitas: Dua Ekosistem yang Diukur Dengan Standar Sama
Ketimpangan akses fasilitas belajar semakin memperlebar jurang hasil TKA. Sekolah maju memiliki perangkat digital, modul latihan, hingga akses internet stabil.
Sekolah lain bahkan kesulitan mendapatkan modul numerasi dasar. Padahal, kapasitas manajemen sekolah yang menyumbang 7% keberhasilan belajar sangat dipengaruhi sumber daya yang tersedia. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan yang lebih tajam: Apakah adil mengukur dua kelompok siswa yang hidup dalam dua realitas pendidikan yang sangat berbeda?
Guru Menjadi Administrator: Energi Mengajar Terkuras untuk Laporan
Beban administrasi yang terus meningkat membuat guru Matematika kehilangan waktu untuk merancang pembelajaran mendalam.
Laporan digital, pembaruan sistem data, hingga pelaporan akademik menekan ruang kreativitas dan pengembangan strategi mengajar. Ketika guru sebagai penentu 30% keberhasilan belajar, lebih banyak menjadi operator sistem, tidak mengejutkan jika hasil akademik turun. Lalu siapa yang salah? Gurunya, atau sistem yang membuat guru kehilangan peran sebagai pendidik?
Dukungan Keluarga Tidak Merata, Namun Hasil Murid Dituntut Merata
Pernyataan Mu’ti membela siswa, tetapi tidak menyinggung variasi kondisi rumah yang sangat memengaruhi hasil. 7% keberhasilan belajar berasal dari dukungan keluarga, namun banyak siswa belajar tanpa pendampingan, tanpa kontrol waktu belajar, dan tanpa sumber daya tambahan.
Dalam situasi seperti diatas, apakah adil menyatakan murid sepenuhnya bebas dari faktor penyebab? Atau apakah kita sedang mengabaikan elemen penting yang menentukan kualitas belajar mereka?
Akses Bahan Ajar Tidak Setara, Tetapi TKA Menuntut Standar Setara
Untuk meraih hasil baik di TKA Matematika, siswa memerlukan latihan intensif, akses bank soal, modul numerasi, hingga simulasi digital. Sayangnya akses tersebut tidak merata. Ketika bahan ajar tidak setara, hasil pun akan tidak setara.
Pertanyaan retoris pun muncul: Apakah murid salah hanya karena ia berada di sekolah yang minim akses bahan ajar?
Pernyataan Mu’ti: Pembelaan, Peringatan, atau Pengalihan?
Jika murid tidak salah, maka pernyataan ini secara implisit mengalihkan sorotan kepada guru, sekolah, atau pemerintah. Namun kenyataannya lebih kompleks.
Penurunan nilai TKA adalah hasil bertumpuk dari kebijakan yang tidak sinkron, pelatihan guru yang belum sebanding dengan tuntutan kurikulum, ketimpangan fasilitas, perbedaan dukungan keluarga, hingga dinamika belajar antar siswa, yang secara statistik menyumbang 7% melalui pengaruh rekan sebaya. Karena itu, pernyataan normatif “murid tidak salah” terasa kurang mampu menjelaskan persoalan yang multidimensi.
Solusi Sistemik: Jika Ekosistemnya Dibenahi, Nilai Akan Mengikuti
Penurunan TKA Matematika 2025 seharusnya menjadi refleksi mendalam pada momentum Hari Guru. Solusi tidak cukup berhenti pada pembelaan atau pencarian kambing hitam. Yang dibutuhkan adalah sinkronisasi ekosistem: Kurikulum harus realistis, tidak hanya ambisius.
Guru harus kembali pada peran inti: mengajar, bukan menginput data.
Ketika seluruh komponen, 49% siswa, 30% guru, 7% manajemen, 7% orang tua, 7% rekan sebaya bergerak selaras, maka peningkatan nilai adalah konsekuensi logis, bukan keajaiban.
Tanpa perubahan fundamental, kita hanya akan terus mendengar pernyataan normatif setiap tahun dan melihat hasil TKA yang kembali jeblok di tahun berikutnya.
3 days ago
2.96K
141