Bulan ini, ketika bendera Merah Putih berkibar lebih gagah di setiap penjuru rumah, bukan hanya karena tiupan angin, tapi karena semangat perjuangan yang mengalir dalam darah anak bangsa.
Saya pun menapakkan kaki di Bali, bukan sekadar berlibur. Perjalanan ini adalah momen bersejarah bagi keluarga kami demi mengantar anak kami memulai langkahnya di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Ada rasa haru, bangga, dan kagum melihat ia mengenakan almamater untuk pertama kalinya dengan perjuangan yang tak biasa tentunya.
Sebagai ayah, saya tahu bahwa dalam kegiatan organisasi, kita mungkin bisa diwakilkan.
Tapi dalam peran sebagai orang tua, sulit rasanya menyerahkan kehangatan kehadiran itu kepada orang lain.
Di lingkungan kampus, saya mengikuti acara mereka, talkshow dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), berdialog dengan mahasiswa, pengurus organisasi, hingga tokoh setempat dekat tempat tinggal anak kami. Saya melihat masa depan Indonesia sedang ditempa di ruang-ruang kecil ini, dengan semangat dan idealisme membangun negeri dengan beragam tantangan yang menghadang.
Namun, ketika Zuhur tiba, saya tersadar: di sini Islam bukan mayoritas. Saya harus mencari tempat salat yang cukup jauh. Saya tidak mengeluh, tapi merenung, apa yang bisa kita bangun di sini?. Betapa bersyukurnya kita jika di kampung sendiri, kita bisa melangkah ke masjid hanya dalam hitungan menit.
Dan, di mana pun anak kita berada, jangan sampai kebebasan menutup jalan kita untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Garuda Wisnu Kencana: Simbol Pengabdian
Di sela perjalanan dalam olah raga pagi dari kosan Bukit Lestari Jimbaran, saya berdiri takjub memandang megahnya patung Garuda Wisnu Kencana (GWK). Sebuah patung tertinggi di dunia oleh pengembang Alam Sutera.
Bukan sekadar karya seni, GWK adalah mahakarya yang memadukan kekuatan budaya, spiritualitas, dan kesetiaan.
Dalam cerita rakyat Bali, Garuda adalah makhluk sakti yang rela berkorban demi membebaskan ibunya dari perbudakan para naga. Demi ibunya, ia mencari air suci Tirta Amerta, hingga akhirnya bertemu Dewa Wisnu, yang menjadikannya tunggangan sebagai simbol pengabdian dan penjaga kebaikan.
Sang Garuda bukan hanya kuat,
tapi tahu untuk siapa ia terbang melanglang buana.
Ia terbang demi kasih ibunya.
Ia berjuang demi cinta sucinya.
Itulah makna tertinggi kemerdekaan: pengorbanan untuk yang kita cintai.
Saya pun teringat ibu saya, sosok perempuan Bugis tangguh yang memulai segalanya dari nol di kampung halaman Sulawesi Selatan. Dari tangannya yang lembut tapi kuat, saya belajar arti berjuang tanpa pamrih demi keluarga.
Sebagai anak, saya belajar dari Garuda.
Sebagai pengurus Apindo Sulawesi Selatan, saya belajar dari Wisnu: menjaga keseimbangan dan keberlangsungan dunia bersama.
Fenomena Bendera One Piece
Di sudut lain Indonesia, saya juga melihat fenomena unik: bendera bajak laut One Piece berkibar di truk logistik, rumah atau tenda mahasiswa, bahkan kos-kosan. Banyak yang menganggapnya lucu, tapi saya melihatnya sebagai tanda generasi muda sedang mencari makna baru kebebasan dan perjuangan.
Bagi sebagian orang, itu hanya budaya pop anime Jepang. Tapi bagi saya, ini adalah pesan diam mereka:
“Kami ingin kemerdekaan yang benar dan suci. Kami ingin pemimpin yang adil, bukan yang hanya pandai berjanji. Kami ingin keadilan, bukan sekadar slogan.”
Dalam kisah One Piece, Luffy dan krunya melawan pemerintahan dunia yang korup, yang menyembunyikan kebenaran dan memperbudak rakyat. Mereka adalah simbol perlawanan dan pembela kaum tertindas, tertindas oleh kekuasaan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Mungkin anak muda yang mengibarkan bendera itu tak berorasi di jalanan, tapi pesan mereka jelas:
Kami ingin perubahan.
Di bulan kemerdekaan ini, saya belajar bahwa:
Kemerdekaan bukan sekadar bebas bergerak, tapi menjaga hak orang lain juga.
Bukan tentang apa yang kita punya, tapi apa yang kita beri.
Bukan hanya teriakan "Merdeka!", tapi perbuatan yang membuktikannya, merdeka bebas bertanggung jawab.
Jika kita bisa berdiri hari ini sebagai pengusaha, pengurus organisasi, dan penulis, itu karena dua kekuatan besar:
1. Doa seorang ibu dan pasangan yang tak pernah lelah mendukung.
2. Tanah air bernama Indonesia, yang selalu memberi ruang dan harapan.
Pesan ibu selalu terpatri:
“Nak, kalau kau ingin jadi pemimpin, jadilah pelayan hati rakyat. Kalau kau ingin dihormati, berikan hormat dan senyuman. Dan jika kau ingin negeri ini besar, jangan pernah lelah mencintai dan mengabdi.”
Walaupun bendera One Piece berkibar sebagai tanda perlawanan,
mari kita kibarkan Merah Putih di atasnya.
Untuk ibu kita, untuk organisasi, untuk Ibu Pertiwi.
Seperti Garuda yang mengepakkan sayapnya demi sang cinta.
Seperti Wisnu yang menjaga dunia dengan bijak.
Seperti Luffy yang berani menantang kekuasaan demi kebenaran.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-80.
Mari jaga kemerdekaan ini bukan hanya dengan sorak-sorai semata,
tapi dengan kerja karya nyata,
pengabdian tulus,
dan cinta yang tak pernah pupus.
*Penulis adalah Asrul Sani Abu | Alumnus Lemhannas | Persatuan Penulis Indonesia | Apindo Sulsel.
2.65K
141