Lupakan sejenak kisah politik yang penuh drama. Kali ini, kita akan menatap kisah pilu seorang janda yang terpaksa masuk penjara demi membela harga dirinya. Sambil menikmati senja di tepian Sungai Kapuas, mari kita berempati pada seorang janda dari tanah Sumatera, yang kisahnya seharusnya tidak hanya jadi sorotan, tapi juga bahan renungan bagi kita semua.
Malam di Lubuk Mas sunyi. Bulan tersenyum tipis, bersekongkol dengan kegelapan. Novi, seorang janda dua anak, hidup dalam babak kehidupan yang bagi banyak orang hanya menjadi fiksi dalam sinetron sore. Namun, ini bukanlah sandiwara. Ini kenyataan yang berdesing.
Pria berinisial AD, wajahnya samar di balik jendela. Pria ini menyusup di antara desau angin malam. Setiap gerak matanya, seperti jarum tipis yang menusuk keheningan, menusuk batin Novi, menusuk harga dirinya. Berkali-kali, setiap malam, mata liar itu bertamu tanpa undangan. Novi, sang penabuh genderang keberanian, akhirnya meledakkan sumbu.
Dengan air keras. Cairan yang tak kenal ampun. Ia siramkan ke mata yang suka mengintipnya. Melepuhlah AD dalam kejadian yang tak ada puisi atau prosa yang cukup kejam untuk menggambarkannya. Lalu datanglah hukum, bersenjatakan palu dan toga hitam, dengan lidah yang mengeluarkan kalimat, “Novi, bersalah. Empat belas bulan.” Mengapa? Karena membela diri. Karena menolak jadi penonton dalam sandiwara yang dimainkan oleh si tukang mengintip. Absurd? Lebih dari itu.
Pengadilan, tempat di mana air mata ibu terjun bebas, di mana logika dipelintir seperti ular sirkus. Seorang pria yang mengintip masuk kategori korban. Seorang ibu yang melindungi dirinya dan anak-anaknya justru menjadi terhukum. Ke mana hilangnya nalar?
Dua anak kecil kini terpaksa menghitung bintang di rumah nenek yang rapuh. Novi dipenjara bukan hanya karena air keras, tapi karena keberanian yang salah alamat dalam peta moral masyarakat. Di negeri ini, melawan adalah dosa, apalagi melawan dengan kemarahan yang melukai.
Mengapa hukum berdiri seperti penonton di arena sirkus? Karena ini bukan drama. Ini kisah nyata. Dalam kisah nyata, pahlawan sering kali berakhir di dalam jeruji. Sementara pelaku menulis sejarah dengan pena emas. Mungkin Novi salah dalam memilih senjatanya, mungkin bukan air keras yang seharusnya ia gunakan, mungkin hanya teriakan lantang yang dianggap sah dalam garis buku hukum. Tapi, bagaimana jika keheningan lebih tajam dari pisau, dan ketakutan tak punya aturan main?
“Seorang ibu, janda, terpaksa jadi tahanan. Anak-anaknya menangis di pangkuan neneknya. Apakah pekikan suara mereka bisa menjadi laporan kepada pihak berwenang? Atau ada cara lain yang lebih 'beradab' menurut kitab hukum? Tapi ketika gelap malam datang, ketika keputusasaan dan takut bersekutu, siapa yang berhak mengukur kadar wajar dari tindak pembelaan diri seorang ibu?”
Keadilan di negeri ini memang seperti kain lusuh. Dijahit tambal-sulam oleh tangan-tangan yang kadang tak pernah tahu bagaimana rasanya jadi Novi—jadi ibu dengan anak-anak kecil, jadi perempuan di balik tembok sunyi yang dilubangi tatapan liar AD. Lalu, ketika Novi menyiramkan air keras, semua mendadak tersentak. Tindakan itu menembus langit-langit nurani masyarakat, menjadi percikan skandal yang disorot tajam, seperti api kecil di hutan kering.
Empat belas bulan. Sebuah angka yang mungkin bagi hakim cuma angka, tapi bagi Novi, itu hukuman yang tak hanya menyentuh dirinya. Dua anak kecilnya? Mereka kehilangan. Air mata mereka tak berhadiah pelukan ibu. Rumah mereka kini sunyi, ditemani nenek tua yang napasnya pun sudah satu-satu, ibarat lilin yang sumbu terakhirnya menggigil.
Ironi paling menyakitkan bukanlah air keras itu sendiri, tapi fakta bahwa AD berjalan bebas, masih bisa melangkah dengan kebanggaan absurd seorang yang “difitnah” oleh keputusannya sendiri. Mungkin ia merasa menang, tapi kemenangan macam apa yang didapat dari mengorbankan martabat seorang ibu dan anak-anaknya?
Cerita ini bukanlah seruan untuk menghalalkan kekerasan. Tidak. Ini adalah cerita tentang jurang besar yang memisahkan hukum tertulis dan keadilan sejati. Tentang bagaimana kadang-kadang, keberanian seorang perempuan untuk membela diri tak dihargai sebagai tindakan heroik, melainkan dianggap dosa. Dosa karena ia berani melawan skenario di mana ia seharusnya cuma diam, meremas tangannya, dan meringkuk takut.
Novi mungkin salah dalam metodenya, tapi siapa yang berhak menghakimi reaksinya ketika pilihan yang tersisa adalah takut atau bertindak? Di negeri ini, hukum berbicara dengan suara berat, namun jarang dengan hati. Keadilan yang seharusnya melindungi, justru sering kali datang terlambat, menoleh dengan rasa bersalah, lalu pergi meninggalkan bayangan hampa.
Sampai kapan cerita-cerita seperti ini terus terjadi? Sampai kapan air mata ibu menjadi bahan tawar-menawar antara logika dan kepentingan? Mungkin, jika hukum punya hati, ia akan mendekap Novi dan berkata, “Aku mengerti, kau hanya ingin merasa aman.” Tapi sayangnya, hukum bukanlah ibu. Hukum, di sini, hanya palu dan kata-kata yang kadang terlalu dingin untuk menghangatkan kebenaran.
2.28K
132