LIDAHRAKYAT.COM- Pagi di Desa Sekon, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) biasanya dimulai dengan suara ayam berkokok dan aroma tanah basah. Di kampung kecil yang jauh dari keramaian kota itu, seorang perempuan sederhana bernama Akulina Bone menyiapkan kue-kue jualannya yang dijual kepadaasayarakt sekitar, berharap rezeki hari itu cukup untuk membeli beras dan keperluan sekolah anak-anaknya.
Di ladang, Yosef Sisuk, sang suami, bekerja menanam jagung dan kacang-kacangan. Keduanya hanya berpendidikan sederhana. Sang Ayah menamatkan SMA, Sang Ibu lulus SD. Mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga dari ijazah: doa dan keteguhan hati. Dari tangan dan peluh merekalah lahir seorang anak yang kini menjadi kebanggaan banyak orang — Maria Magdalena Neno, atau yang akrab disapa Ellen
Ellen lahir di Sekon pada 6 Januari 2003. Ia tumbuh dalam kesederhanaan, tapi juga dalam cinta dan doa. Setiap sore, selepas membantu ibunya berjualan kue, Ellen duduk di depan rumah, membaca buku sambil menatap matahari yang tenggelam di balik bukit. Di sanalah ia sering berbisik dalam hati:
“Saya ingin sekolah tinggi supaya bisa bantu mama dan bapak.”
Tahun 2021, doa kecil itu terjawab. Ellen diterima di Universitas Timor (Unimor), salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di daratan Timor, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Bagi keluarga sederhana seperti mereka, kabar itu adalah anugerah besar. Bahkan Tuhan menambahkannya dengan rezeki lain — beasiswa KIP Kuliah yang menanggung seluruh biaya pendidikannya.
Keberangkatan ke kampus adalah momen haru. Sang ibu menitipkan pesan sederhana,
“Ellen, belajar sungguh-sungguh. Jangan takut susah. Tuhan pasti tolong.”
Dan benar, setiap kali Ellen merasa lelah, suara lembut itu selalu terngiang di telinganya.
Perkuliahan berjalan. Ellen dikenal tekun, rajin, dan selalu rendah hati. Namun ia tak puas hanya menjadi mahasiswa biasa. Ia ingin menantang dirinya melangkah lebih jauh. Maka ketika mendengar tentang Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM), Ellen mendaftar tanpa ragu. Seleksi ketat ia lalui satu per satu — hingga akhirnya Tuhan kembali memberinya kejutan indah: ia lolos PMM dan terpilih mewakili Universitas Timor untuk belajar selama satu semester di Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu kampus ternama di Indonesia.
“Puji Tuhan, semua biaya saya ditanggung pemerintah,” kenangnya dengan mata berbinar. “Saya tidak pernah membayangkan bisa belajar di ITB, kampus yang hanya saya lihat di televisi. Tapi ternyata anak dari kampung kecil pun bisa sampai ke sana.”
Selama di Bandung, Ellen belajar banyak hal: kedisiplinan, keterbukaan, dan rasa percaya diri. Ia beradaptasi dengan lingkungan baru yang serba maju tanpa melupakan asalnya.
“Saya anak petani, tapi saya juga anak bangsa,” katanya suatu kali, “dan saya bangga dengan itu.”
Sekembali dari ITB, Ellen semakin menunjukkan kemampuan kepemimpinan dan tanggung jawabnya. Ia terpilih menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) Matematika, serta dipercaya dosen menjadi asisten dosen untuk membantu proses belajar di kelas.
“Saya senang bisa berbagi ilmu. Mengajar membuat saya lebih paham bahwa belajar itu soal hati,” ucapnya dengan senyum lembut.
Tahun demi tahun berlalu. Skripsinya selesai dengan baik, dengan motto yang ia pegang teguh sejak awal:
“Pedang terbaik yang dimiliki ialah sebuah kesabaran tanpa batas.
Benar, kesabaran itulah yang akhirnya mengantarkannya ke panggung wisuda. Ellen lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,71 dan predikat sangat memuaskan, menjadikannya salah satu lulusan terbaik Program Studi Matematika Sains Universitas Timor.
Ketika namanya dipanggil, ruangan bergemuruh tepuk tangan. Di antara hadirin, tampak sepasang orang tua sederhana berdiri di barisan belakang. Sang ibu meneteskan air mata bahagia — tangan yang dulu menggiling tepung untuk membuat kue kini terangkat tinggi dalam doa syukur.
“Semua jerih payah saya terbayar sudah,” bisiknya pelan.
Dalam momen penuh sukacita itu, Ellen menyampaikan rasa syukurnya dengan penuh kerendahan hati:
“Saya bersyukur kepada Tuhan atas penyertaan-Nya, kepada bapak dan mama atas doa yang tiada henti, kepada dosen-dosen pembimbing yang setia menuntun saya hingga memperoleh kelulusan terbaik. Terima kasih juga kepada Bapak Sebastianus Osi, Bapak Paulus Amafnini, serta seluruh keluarga besar Am’Isa-Lakulo dan Amafnini-Am’Una atas doa dan dukungan mereka.”
Kisah hidup Ellen mengajarkan kita satu hal penting: untuk menjadi sukses, tidak harus lahir di kota besar. Sekon — kampung kecil di kaki pegunungan, jauh dari keramaian — justru menjadi ladang subur tempat tumbuhnya semangat dan ketulusan.
Kehidupan sederhana bukan penghalang, melainkan berkat yang membentuk kekuatan dan karakter.
Dari tangan petani dan penjual kue, lahir seorang sarjana sains yang kini berdiri dengan bangga — bukan karena gelar semata, tetapi karena perjuangan di baliknya. Ellen adalah cermin bahwa kesabaran bisa menembus batas, dan doa orang tua mampu mengubah jalan hidup seorang anak.
Refleksi Seorang Pendidik
Sebagai seorang pendidik, saya melihat kisah Maria Magdalena Neno, S.Si bukan sekadar kisah keberhasilan seorang anak dari Sekon, tetapi juga sebuah cermin keajaiban pendidikan. Bahwa di balik setiap anak desa, tersimpan potensi besar yang hanya menunggu untuk disentuh oleh kesempatan, doa, dan keyakinan.
Kita sering berpikir bahwa kesuksesan hanya milik mereka yang tinggal di kota besar, tetapi Ellen membuktikan sebaliknya. Ia adalah bukti bahwa kehidupan sederhana pun bisa menjadi berkat ketika dijalani dengan cinta, kerja keras, dan kesabaran.
Dari Sekon yang tenang, kini bergema pesan abadi bagi seluruh anak muda di Timor Tengah Utara:
“Tidak penting dari mana kita berasal, yang penting adalah hati yang mau berjuang.”
Semoga kisah Ellen menjadi obor harapan bagi generasi muda — bahwa tak ada mimpi yang terlalu tinggi, selama kita berani melangkah, bersabar, dan percaya bahwa Tuhan menyiapkan waktu terbaik untuk setiap perjuangan.
Kisah ini diceritakan Oleh Ellen Neno Kepada Penulis Seusai Acara Wisuda
2.65K
141