Menjelang kenaikan kelas, ada kebiasaan yang tampak sederhana bagi anak-anak sekolahan di Kota Denpasar namun sejatinya sarat makna: mereka mengembalikan buku paket ke sekolah. Hari-hari ini anak-anak ke sekolah membawa buku yang dulu dipinjamkan negara melalui sekolah, dan menyerahkannya kembali dalam keadaan utuh. Tidak ada keluh, tidak ada pamrih. Anak-anak ini tak pernah tahu betul apakah mereka wajib mengganti bila buku rusak atau hilang, karena bagi mereka, sudah cukup jika amanat itu dikembalikan dengan baik. Tapi yang luput disadari banyak orang dewasa adalah pengembalian buku oleh siswa berarti penghematan nyata. Efisiensi yang tak didengung-dengungkan. Buku adalah salah satu pos belanja terbesar dari Dana BOS—Biaya Operasional Sekolah.
Ketika buku dikembalikan dengan layak, maka tak perlu lagi sekolah membeli banyak untuk pengadaan buku baru. Dana BOS bisa difokuskan untuk membiayai kebutuhan lain: listrik yang terus menyala, air yang terus mengalir, toilet yang layak, pelatihan guru, kegiatan siswa, hingga perbaikan fasilitas yang nyaris runtuh. Namun justru di tengah semangat penghematan itulah, paradoks menampar wajah publik: mengapa masih ada pungutan komite? Mengapa sekolah di kota pariwisata yang katanya "gratis" masih mengetuk hati orang tua/wali untuk menyumbang dengan dalih uang komite? Ini bukan soal besaran rupiahnya. Ini soal kejujuran sistemik. Soal kenapa pemerintah bersusah payah menyusun regulasi, menetapkan anggaran, dan mengikrarkan pendidikan gratis—lalu dikhianati oleh mekanisme semi-formal bernama "komite sekolah". Kita tahu, dalam praktiknya, sumbangan komite sering tak lagi sukarela. Banyak yang mengeluh, tapi takut bersuara. Banyak yang tahu, tapi memilih diam. Banyak pejabat pendidikan yang tahu, tapi memilih memalingkan wajah, karena pungutan itu—konon—untuk “menutup kekurangan anggaran”. Tapi bukankah Dana BOS ada untuk itu? Bukankah BOS dirancang agar tidak ada lagi beban di pundak orang tua? Kalau begitu, siapa yang bertanggung jawab atas pembiaran ini? Siapa yang menutup mata ketika niat baik negara dicemari oleh praktik yang menyesakkan? Yang lebih menyakitkan adalah anak-anak kecil dengan polos mengembalikan buku paket dalam kondisi baik, para pengelola sekolah—yang seharusnya jadi teladan moral—menyusupkan celah pungutan dalam aturan. Mereka yang seharusnya mengajarkan kejujuran, justru menormalkan kebijakan yang abu-abu.
Kita sedang hidup di dunia paradoks: anak-anak lebih jujur dari orang dewasa. Negara lebih berniat baik daripada sebagian aparatur pelaksananya. Pendidikan dijanjikan gratis, tapi dalam praktiknya tetap saja berbayar, hanya namanya yang diganti menjadi “sumbangan”.
Jika dunia pendidikan terus dibiarkan seperti ini, maka jangan heran bila suatu hari kelak anak-anak yang kini jujur mengembalikan buku, akan tumbuh menjadi generasi yang belajar satu pelajaran pahit: bahwa sistem bisa dimanipulasi, dan kejujuran hanya milik mereka yang tak berkuasa.
18 hrs ago
18 hrs ago
2.46K
132