Pendahuluan
Dana desa merupakan salah satu kebijakan strategis pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Namun, implementasinya sering kali menghadapi berbagai permasalahan, terutama terkait dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) perangkat desa dan dinamika politik lokal. Artikel ini mengulas secara kritis bagaimana keterbatasan SDM dalam pemerintahan desa menyebabkan kesalahan dalam pengelolaan dana desa yang tidak disadari oleh kepala desa. Selain itu, artikel ini menyoroti bagaimana oposisi dalam politik desa sering kali tidak dianggap sebagai mitra kritis, melainkan sebagai ancaman, yang pada akhirnya menghambat proses demokratisasi dan transparansi.
Problematika SDM dalam Pengelolaan Dana Desa
Salah satu permasalahan utama dalam pengelolaan dana desa adalah kurangnya kapasitas SDM perangkat desa. Banyak perangkat desa tidak memiliki latar belakang manajerial dan administrasi keuangan yang memadai, sehingga rentan melakukan kesalahan dalam penyusunan dan realisasi anggaran.
Dari perspektif filosofis, hal ini dapat dikaitkan dengan konsep epistemic ignorance (ketidaktahuan epistemik), seperti yang dibahas oleh Karl Popper dalam The Logic of Scientific Discovery. Popper menekankan bahwa kesalahan bukan hanya muncul dari kurangnya informasi, tetapi juga dari ketidakmampuan individu untuk mengenali keterbatasan mereka sendiri dalam memahami realitas yang lebih kompleks. Dalam konteks ini, perangkat desa sering kali tidak menyadari bahwa mereka beroperasi dalam closed society, di mana pengetahuan hanya beredar dalam lingkaran terbatas dan tidak berkembang secara kritis. Selain itu, Plato dalam Republik mengemukakan bahwa pemimpin yang baik harus memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang cukup untuk mengelola suatu komunitas. Dalam konteks desa, kepala desa seharusnya memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip tata kelola yang baik agar tidak hanya bergantung pada perangkat yang kurang berkompeten. Namun, yang sering terjadi adalah pemimpin desa tidak memiliki kapasitas ini, sehingga kebijakan yang diambil cenderung reaktif dan tidak berbasis pada kajian yang matang.
Akibat dari lemahnya pemahaman dan pengawasan terhadap penggunaan dana desa, banyak kepala desa akhirnya terseret ke meja hijau dan terjerat kasus hukum. Laporan dari berbagai daerah menunjukkan bahwa kasus korupsi dana desa meningkat setiap tahun. Para kepala desa yang awalnya tidak berniat melakukan penyalahgunaan anggaran, sering kali terjebak dalam praktik maladministrasi yang berujung pada pelanggaran hukum. Beberapa di antara mereka bahkan tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukan masuk dalam kategori tindak pidana, akibat minimnya pemahaman tentang regulasi keuangan dan sistem akuntabilitas publik.
Politik Desa dan Hambatan Kritik
Di banyak desa, struktur politik masih bersifat patrimonial, di mana loyalitas lebih diutamakan daripada profesionalisme. Kepala desa sering kali dikelilingi oleh perangkat yang dipilih berdasarkan kedekatan personal atau politik, bukan berdasarkan kompetensi. Akibatnya, kritik terhadap kebijakan desa sering kali tidak diterima dengan baik, terutama jika berasal dari oposisi politik.
Michel Foucault dalam Discipline and Punish menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui sistem yang membentuk pola pikir masyarakat. Dalam politik desa, oposisi sering kali ditempatkan dalam posisi yang lemah karena masyarakat telah dikondisikan untuk melihatnya sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari sistem checks and balances yang sehat. Konsep panopticon Foucault dapat diadaptasi untuk memahami bagaimana kepala desa dan elit lokal mengontrol narasi politik desa dengan mengawasi siapa yang boleh berbicara dan siapa yang harus dibungkam. Selain itu, Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism menyoroti bagaimana birokrasi yang tidak akuntabel dapat menjadi alat penindasan. Dalam skala desa, ketidakmampuan menerima kritik menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat berubah menjadi tirani kecil yang menghambat partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Situasi ini semakin memperburuk kondisi kepala desa yang pada awalnya memiliki niat baik dalam memimpin. Ketika kritik dibungkam dan tidak ada ruang untuk refleksi atas kebijakan yang diambil, kepala desa justru semakin rentan terhadap kesalahan fatal yang berujung pada tuntutan hukum. Banyak kepala desa yang akhirnya harus berhadapan dengan aparat penegak hukum bukan karena niat jahat, tetapi karena sistem yang tidak memungkinkan mereka untuk belajar dari kritik dan memperbaiki tata kelola secara transparan.
Dampak dan Implikasi
Dampak dari situasi ini cukup serius, antara lain: Penyalahgunaan Dana Desa: Meskipun tidak selalu disengaja, ketidaktepatan penggunaan dana desa dapat menyebabkan pemborosan atau alokasi yang tidak efektif.
Solusi dan Rekomendasi
Kesimpulan
Kesalahan dalam penggunaan dana desa akibat keterbatasan SDM perangkat desa merupakan permasalahan sistemik yang harus segera diatasi. Ditambah dengan dinamika politik desa yang kurang sehat, kritik yang membangun sering kali diabaikan.
Dari perspektif filosofis, keterbatasan epistemik dan kecenderungan patrimonial dalam politik desa menunjukkan bahwa desa sering kali terperangkap dalam siklus yang tidak progresif. Mengacu pada pemikiran Popper, Plato, Foucault, dan Arendt, penting bagi desa untuk membuka diri terhadap kritik dan inovasi agar sistem tata kelola desa menjadi lebih efektif. Dengan peningkatan kapasitas SDM, pendidikan politik masyarakat, serta pengawasan yang lebih ketat, diharapkan dana desa dapat benar-benar digunakan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat tanpa membuat kepala desa menjadi korban sistem yang buruk.
*Penulis adalah seorang Guru dan Penulis Artikel, Tinggal di Kabupaten Timor Tengah Utara
9 hrs ago
2.30K
132