Posisi geografis Indonesia terutama Flores dan Lembata yang strategis dalam wilayah tumbukan lempeng tektonik dan jalur ring of fire, membuat wilayah ini diklaim memiliki cadangan energi panas bumi (geothermal) yang besar dan berkelanjutan sebagai bentuk transisi dari energi lama seperti fosil. Namun, imaji transisi energi sebagai salah satu bentuk penggunaan sumber daya terbarukan ini, seringkali juga membutakan mata kita akan berbagai resiko yang mengikutinya, termasuk menyembunyikan kenyataan bahwa hal tersebut bukan melulu sebuah terobosan teknik pembangunan yang kontruktif dan minim risiko, tapi sebaliknya bisa terjebak sebagai produk kepentingan politik kekuasaan semata yang pada akhirnya kerap merampas lahan hidup, menghancurkan keutuhan ekologis, mengabaikan komunitas warga, mengancam kearifan lokal serta kekayaan budaya yang berujung pada dekulturasi.
Dekulturasi merujuk pada proses perubahan budaya yang terjadi ketika elemen-elemen budaya dari satu kelompok masyarakat dipengaruhi atau digantikan oleh budaya dari luar, seringkali akibat interaksi yang tidak seimbang, seperti kolonialisasi atau globalisasi. Dalam konteks politik transisi energi, dekulturasi dapat terjadi ketika budaya tradisional dan segala kekayaan karifan di dalamnya yang bergantung pada metode dan sistem lokal yang cendrung selaras dan toleran dengan alam diganti atau bahkan dinegasikan secara hegemonik dengan sistem energi baru yang diklaim lebih modern, namun nyatanya hadir secara intoleran dan antagonis dengan segudang dampak destruktifnya.
Seberapa jauh proyek geothermal memenuhi kualifikasi energi terbarukan yang berkelanjutan dan lebih penting lagi berkeadilan? Bagaimana intervensi politik dari negara dan kekuatan kekuasaan lain berdampak pada proses dekulturasi di tengah masyarakat?
Riwayat Singkat Pemateri:
RP. Charles Beraf, SVD menyelesaikan pendidikan Filsafat dan Magister Teologi Kontekstual di IFTK Ledalero dengan predikat Cum Laude. Pada tahun 2008 bekerja di Flores POS lalu studi lanjut ke University of the Philippines dan meraih gelar Master in Rural Sociology (sosiologi pedesaan) dengan predikat Summa cum Laude. Kini Charles menjadi peneliti dan dosen filsafat dan ilmu-ilmu sosial di IFTK Ledalero sambil tetap konsisten menjadi Pegiat Kampung Iklim di Detukeli. Publikasi ilmiahnya seputar masalah sosial, kebudayaan, komunitas warga lokal, ekologi pedesaan dan mitigasi bencana tersebar di Kompas, Jakarta Post, serta jurnal-jurnal nasional maupun internasional.
17 hrs ago
17 hrs ago
2.46K
132