Jumat, 25 Apr 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Tiga Hakim Bagi Duit Sogokan
Kroni untuk Para Hakim
Penulis: Redaksi Lidah Rakyat
Sorot - 27 Oct 2024 - Views: 308
image empty
Ilustrasi
Ilustrasi Para Hakim Sogokan Pengadilan Negeri Surabaya

Di sebuah ruang sidang Pengadilan Negeri Surabaya, suasana terasa penuh ketegangan. Di tengah tumpukan berkas dan tumpukan ketidakadilan, ada tiga hakim yang seharusnya memutuskan nasib seorang terdakwa. Sebut saja mereka Erintuah Mekanik, Ketua Majelis Hakim. Syaiful, hakim muda yang masih mencari jati diri, dan Heri Haninjo, yang mengaku sebagai pengamat dari jauh, meski tidak pernah jauh dari meja makan.

Saat sidang berlangsung berbulan-bulan, mereka memutuskan untuk membebaskan terdakwa, Anak Mantan Anggota DPR RI, Dapil NTT, Edward Tanur Kenapa? Karena terdakwa tidak terbukti melakukan penganiayaan terhadap pacarnya. Bukti yang ada dinilai hoax. Publik protes. Jelas-jelas ada bukti videonya. Publik marah. Namun, ketiga itu tetap enjoy. Sing penting semua sesuai skenario.

Ternyata di balik pembebasan terdakwa, uang bisa membeli kebebasan. Setidaknya, membeli keadilan. Terdakwa bebas ternyata ketiga hakim itu disogok. Yang menyogoknya adalah ayah Donald yang kaya melintir. Ketiga hakim itu dibayar lewat Usrof Licar, seorang mafia jaksa yang sudah terkenal dengan skenario konyolnya. Setelah sidang berakhir, ketiga hakim itu bersembunyi di sebuah tempat super rahasia. Ketiganya mematikan Hp agar tak pusing dihujat netizen. Tempat rahasia itu, dari luar terlihat seperti warung kopi biasa. Tapi, di dalamnya sudah dipasang penangkal sinyal untuk mencegah polisi menghampiri.

“Bagaimana kita bagi uang kurang 1 triliun dan 51 kg emas ini. Lumayan banyak ini. Kita bisa kaya raya, tak perlu lagi mikirkan gaji,” kata Erintuah sambil mencolek latte-nya yang terlalu manis, sehingga menambah konyol suasana.

“Gini aja, kita bagi sama rata. Aku butuh untuk biaya rumah tangga. Rencana mau bangun kafe megah!” sahut Syaiful, yang terpaksa mengaku sebagai kepala keluarga.

“Gak bisa gitu. Aku kan Ketua Majelis Hakim! Porsi aku harus lebih besar!” Heri, yang sepertinya lebih bersemangat dalam berdebat dari pada memutuskan perkara, memprotes dengan nada tinggi. Lalu, terjadilah perdebatan sengit. Syaiful berteriak, “Kalau aku tidak dapat lebih, ya, lebih baik aku bawa emas ini ke pasar gelap!”

“Siapa yang mau beli emas seberat ini di pasar gelap?” jawab Erintuah dengan nada sarkastik. “Bakal dikejar polisi lagi, eh, jangan-jangan kita jadi saksi mata yang hilang, ya?”

Dengan mulut nganga, mereka berdebat tentang pembagian adil yang lebih mirip tawar-menawar harga cabai di pasar tradisional. “Oke, kita sepakati, 400 miliar untukku, 300 miliar untukmu, dan 250 miliar untukmu. Sisa 50 miliar kita bagi untuk akuntan, eh, maksudku untuk biaya administrasi!”  Sebelum keputusan bisa ditandatangani dengan tinta emas, tiba-tiba pintu warung itu dibuka, dan masuklah polisi. “Kami dari pihak kepolisian. Kami mendapatkan laporan adanya pengaturan perkara di pengadilan. Sila semua keluar, kami akan mengadakan penangkapan!”

Ketiga hakim itu terdiam. Heri mencoba berkelit, “Tunggu, ini semua salah paham. Kami cuma mau membagi... eh, satu ide bisnis!”

Syaiful menimpali, “Ya, kan bisnis ini juga untuk masyarakat. Uang ini kan akan kami investasikan dalam... eh... membantu rakyat!”

Tapi usaha mereka sia-sia. Dalam sekejap, ketiga hakim itu dibawa pergi dengan tangan terikat dan wajah memelas, seperti anak kecil yang baru dicuri mainannya.

“Jadi, ini yang dinamakan keadilan?” tanya Erintuah pada Syaiful.

“Iya, tapi bukan keadilan yang kita harapkan, ya!” jawab Syaiful dengan nada miris.

Ketiga hakim itu pun ditangkap dalam keadaan bersalah, tanpa sempat menikmati hasil sogokan yang mereka rencanakan. Uang dan emas yang seharusnya membawa mereka ke kehidupan mewah malah berujung di balik jeruji besi.

Di luar sana, di jalanan Surabaya yang ramai, masyarakat merayakan penangkapan tiga wakil Tuhan itu. “Dasar, belum sempat menikmati, sudah ketangkap. Apes benar. Ini pasti ada mata-mata di pengadilan kita ini,” ujar Heri saat sama-sama duduk di mobil tahanan. “Padahal, saya sudah mengkhayal mau buat kafe di ujung kota dengan konsep GenZ,” timpal Syaiful.
“Kurang ajar benar si Usrof. Saya kira jago ngatur perkara model gini, rupanya amatiran. Semoga kawan hakim kita nanti bisa memberikan vonis ringan,” harap Erintuah.

Di akhir cerita, hanya ada satu pesan moral, “Jangan pernah percaya pada keadilan yang terlalu manis, karena kadang, ia hanya dibeli dengan sogokan yang pahit.” [www.lidahrakyat.com]