LIDAHRAKYAT.COM- Opini ini lahir dari keprihatinan mendalam terhadap rekaman viral yang memperlihatkan tindakan kekerasan oleh oknum Polda NTT terhadap juniornya. Dalam perspektif filsafat, kekerasan bukan hanya pelanggaran etis, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi dalam struktur institusi negara. Karena itu, tulisan ini berupaya membaca insiden tersebut bukan sebagai kasus kasuistik semata, melainkan sebagai cermin dari masalah moral, budaya kekuasaan, dan kegagalan reflektif yang mesti dibenahi secara serius.
Kekerasan Yang Diwariskan Dan Kegagalan Moral Institusi
Video viral yang memperlihatkan anggota Polda NTT memukul dan menendang juniornya bukan sekadar potret kekerasan biasa; itu merupakan pengkhianatan terhadap tugas luhur penegak hukum. Dalam setiap hentakan kaki dan ayunan tangan, yang tampak bukan ketegasan, melainkan arogansi yang berurat akar. Kekerasan tersebut bukan bentuk “pembinaan,” melainkan reproduksi barbarisme yang dibungkus seragam negara.
Filsafat moral mengajarkan bahwa setiap tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara universal. Immanuel Kant menegaskan bahwa manusia bukan alat, tetapi tujuan pada dirinya sendiri. Namun dalam rekaman itu, para junior diperlakukan layaknya objek latihan agresi, bukan pribadi bermartabat. Apa makna seragam, sumpah jabatan, dan pelatihan etika bila tubuh manusia masih dijadikan arena pelampiasan superioritas? Apakah institusi negara boleh mewajarkan kekerasan terhadap anggotanya sendiri hanya karena hierarki mengizinkannya? Jika jawabannya “iya,” maka kita sedang merayakan kemunduran akal budi.
Mental Feodalisme Yang Menghancurkan Masa Depan Institusi
Akar persoalannya jauh lebih dalam daripada sekadar insiden. Ini merupakan penyakit mental feodalisme yang diwariskan dari generasi ke generasi. Feodalisme yang membentuk keyakinan bahwa senior selalu benar dan junior wajib tunduk tanpa syarat—even ketika yang diperintahkan adalah pelanggaran moral. Foucault pernah mengingatkan bahwa kekuasaan yang tidak dikontrol akan selalu mencari tubuh sebagai objek penaklukan. Dalam konteks ini, tubuh para junior menjadi arena eksploitasi dan dominasi semu.
Ketika kekerasan dilegitimasi sebagai tradisi pembinaan, masa depan institusi menjadi rapuh. Junior yang dibentuk dalam kekerasan akan menirunya pada generasi berikutnya. Lingkaran setan ini melahirkan aparat yang tidak reflektif, tidak humanis, dan tidak peka terhadap penderitaan masyarakat. Bagaimana masyarakat dapat mempercayai polisi jika polisi sendiri tidak mampu memperlakukan anggotanya secara manusiawi? Kekerasan internal bukan saja mencoreng wibawa institusi, tetapi menghancurkan fondasi moralnya.
Kritik Terhadap Arogansi Aparat
Rekaman viral itu menunjukkan kenyataan menyedihkan: sebagian aparat masih memahami kekuasaan sebagai hak untuk menyakiti. Padahal kekuasaan sejati adalah kemampuan menjaga yang lemah, bukan memukul yang tak berdaya. Arogansi semacam ini membunuh kepercayaan publik. Masyarakat NTT sudah sering menyaksikan kasus-kasus yang menimbulkan keraguan terhadap integritas aparat. Kini, rekaman tersebut kembali membuka luka moral di tubuh kepolisian.
Bagaimana mungkin aparat meminta masyarakat taat hukum apabila mereka sendiri melanggar hukum paling dasar: larangan menggunakan kekerasan tanpa alasan sah? Yang terlihat dalam video itu bukan disiplin, melainkan kekejaman yang dilakukan dengan bangga. Ironisnya, tindakan seperti itu sering dibungkus dengan alasan “pembinaan karakter.” Padahal karakter tidak tumbuh dari rasa takut, melainkan dari pendidikan nilai. Nietzsche mengingatkan bahwa mereka yang menikmati kuasa kecil akan menjadi tiran kecil—dan dalam rekaman ini, kita melihat tiran-tiran kecil itu merayakan kuasa mereka di hadapan junior yang tak berdaya.
Seruan Etis Untuk Reformasi Dan Rekonstruksi Moral
Kepolisian bukan hanya institusi penegak hukum; ia adalah pilar moral negara. Karena itu, pembinaan internal harus berakar pada etika, bukan intimidasi. Reformasi tidak cukup hanya mengganti pimpinan atau membuat aturan baru; yang harus diubah adalah budaya yang sudah busuk dari dalam. Budaya kekerasan tidak boleh ditoleransi, dinegosiasi, ataupun diwariskan.
NTT bukan provinsi barbar. Kita masyarakat bermartabat dan beradab. Karena itu, ketika aparat mempermalukan martabat itu, kritik harus disampaikan setegas mungkin. Para pemimpin kepolisian harus berani menindak, bukan sekadar memberikan klarifikasi normatif yang tidak menyentuh akar persoalan. Junior harus dilindungi, bukan ditakuti. Senior harus membina, bukan menindas. Hanya dengan rekonstruksi moral yang radikal, institusi dapat menemukan kembali wibawanya.
Sebagai langkah konkret, institusi perlu menghapus budaya senioritas toksik dan menggantinya dengan paradigma pembinaan humanis berbasis pelatihan psikologi, etika profesi, dan kepemimpinan moral. Setiap senior wajib mengikuti pendidikan ulang tentang batas kewenangan dan metode pembinaan tanpa kekerasan. Dibutuhkan pula unit pengawasan internal independen yang memberi ruang bagi junior untuk melapor tanpa rasa takut. Transparansi harus menjadi norma: setiap pelanggaran diproses dengan melibatkan publik, bukan secara internal dan tertutup.
Penutup
Arogansi dalam institusi penegak hukum adalah ancaman bagi keadaban publik. Ketika kekuasaan dijalankan tanpa refleksi moral, yang lahir bukan disiplin, melainkan ketakutan dan kehancuran. Karena itu, solusi harus dimulai dari transformasi menyeluruh: perubahan budaya senioritas, penegakan aturan tanpa pandang bulu, pembinaan humanis, dan mekanisme pengawasan yang transparan. Institusi kepolisian harus kembali dibangun di atas fondasi martabat manusia, bukan superioritas semu.
Arogansi hanya akan melahirkan kehancuran. Namun komitmen terhadap etika, akal budi, dan penghargaan atas martabat manusia akan melahirkan institusi kepolisian yang kembali dipercaya dan dihormati.
2.78K
141