Minggu, 20 Apr 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
The Homeless Professor
Sketsa Masyarakat
Penulis: Akmal Nasery Basral*
Analisis - 10 Nov 2024 - Views: 164
image empty
Foto Pribadi Akmal

1/
Sebuah problem serius dan tersembunyi menunggu diungkap secepatnya oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro, Mendiktisaintek yang belum genap sebulan bekerja sebagai anggota Kabinet Merah Putih. Sebuah problem yang tak terendus publik dan (belum) terdeteksi media massa, yakni Guru Besar yang tak punya rumah sendiri meski sudah puluhan tahun mengabdi membangun negeri melalui jalur pendidikan yang mereka cintai. The homeless professor.

Makna homeless di sini bukan berarti “tuna wisma” atau “gelandangan” yang tidur di emperan dan mengais sisa-sisa makanan. Bukan. The homeless professor tetap bermukim di bawah atap yang bisa melindungi dari pecutan terik dan panah-panah hujan, namun berstatus rumah sewa atau kontrakan. Bukan rumah milik sendiri.

Fakta memprihatinkan ini saya ketahui kurang dari 1x24 jam lalu berdasarkan komunikasi langsung dengan seorang Guru Besar.  Sebetulnya saat itu kami sedang berdiskusi tentang satu hal ketika pada satu kesempatan beliau menyatakan hal tak terduga, “Saya sedang puyeng memikirkan bagaimana harus bayar kontrakan, Mas Akmal. Akhir bulan ini habis masa kontraknya.”

Boom! Saya terkejut luar biasa. Profesor ini seorang Guru Besar (dengan “G” dan “B” besar) terkemuka di bidangnya. Riwayat pendidikannya termasuk menimba ilmu di salah satu negara adidaya pemilik hak veto di PBB. Sepulang ke Indonesia, beliau berbakti selama puluhan tahun di sebuah PTN beken yang masuk Top 5 di tanah air. Pekan lalu beliau menjadi pembicara di sebuah PTN kondang lainnya di luar Pulau Jawa. Satu purnama silam malah menjadi narasumber forum internasional di salah satu negara Asia Timur.

Untuk menghormati privasi beliau dan keluarganya, saya sebut saja sebagai Profesor X tanpa perlu mengelaborasi gendernya. Sebab, yang menjadi pesan utama  tulisan ini adalah tentang apa yang sedang terjadi, bukan siapa yang mengalami. Jika puncak gunung es sudah terlihat, apa yang belum bisa disaksikan mata bisa berlipat kali lebih masif wujudnya, bukan?  

Ketika mantan Kepala Staf Presiden Jenderal Moeldoko mengatakan berdasarkan data Biro Pusat Statistik ada sebanyak 9,9 juta masyarakat Indonesia yang belum punya rumah (Mei 2024), saya  sudah menduga angka itu sebagai akumulasi dari multiprofesi. Bisa dari kalangan mantan artis atau olahragawan tenar yang sudah habis masa kejayaan, atau kalangan seniman kreatif yang selalu bergulat dengan stabilitas ekonomi, pengusaha bangkrut karena mismanajemen, atau kalangan wong cilik yang memang sudah ngos-ngosan dibelit aneka jerat kebutuhan hidup. Namun tak pernah terpikirkan oleh saya bahwa salah satu kalangan homeless itu bisa datang dari Guru Besar yang sejatinya menempati hierarki tertinggi dalam struktur dunia pendidikan formal. Dan ternyata saya memang keliru. The homeless professor ternyata juga fenomena global dari dunia kita yang semakin terperosok dalam jebakan materialisme tanpa ampun.

2/
Selama sepekan terakhir ini, pengguna TikTok yang peduli dunia pendidikan tinggi dihebohkan dengan pengakuan Dr. Daniel Mckeown, Adjunct Professor dan pengajar astrofisika di UCLA. Dengan gaji USD 70.000 per tahun, Daniel mengungkapkan tak sanggup tinggal di Los Angeles dengan sewa apartemen $ 2.500 per bulan. “Saya sudah minta kebijakan kampus agar menyesuaikan gaji saya dengan biaya hidup yang sangat tinggi di LA namun kampus tak mengabulkan,” keluhnya dalam testimoni yang sudah ditonton 1,6 juta kunjungan.   

Beberapa tahun sebelumnya, Profesor Ellen Tara James-Penney dari San Jose State University juga menggemparkan publik AS ketika diketahui dia menghabiskan malam di dalam mobil, bukan di dalam rumah. Kampus SJSU menggajinya USD 30.000 untuk mengajar empat mata kuliah. “Gaji senilai itu membuat saya tak sanggup bahkan untuk menyewa apartemen seharga $ 2.000 per bulan,” katanya melalui tayangan televisi setempat.

Ellen harus memindahkan mobilnya setiap langit mulai temaram di atas San Jose,  ke berbagai tempat parkir publik yang agak tersembunyi, agar dia bisa menyiapkan bahan kuliah keesokan hari dan tampil di dalam kelas di depan mahasiswa. Dia menjalani pola hidup seperti itu lebih dari satu dasawarsa.  

Respon publik atas kisah Daniel Mckeown dan Ellen James-Penney terbelah, seperti terbaca pada kolom komentar di media sosial. Ada komentar skeptis, namun sebagian besar menyalurkan simpati. Termasuk publik mancanegara (non-AS) yang berbagi kisah tentang kehidupan profesor di negara mereka yang tak punya tempat tinggal sendiri.

3/
Kembali pada cerita Profesor X, beliau tampaknya tahu saya terhenyak sehingga menenangkan saya dengan mengatakan, “Saya tetap bersyukur diberi rezeki dalam berbagai bentuk lain dari Allah SWT, termasuk harus mengurus total seorang saudara kandung yang sangat tergantung pada saya. Saya menganggap ini tugas dari Allah. Saya selalu berdoa kepada Allah agar diberi kesehatan agar dapat menjalani semua ini dengan baik.”

Saya terharu. Pelajaran hidup selalu datang dalam berbagai bentuk dan cara. Kadang melalui peristiwa yang tak terduga seperti ini. Keikhlasan Profesor X menjalani hidupnya adalah urusan pribadinya secara vertikal dengan Tuhan. Sedangkan tugas negara--melalui Mendiktisaintek yang perlu diperluas tupoksinya—saya kira termasuk untuk mendata lebih seksama jumlah Guru  Besar yang masih aktif berkhidmat namun belum punya rumah sendiri dan masih harus mengontrak. Mereka harus berpindah-pindah rumah selesai satu periode kontrak, tergantung kondisi keuangan yang ada.

Jika benar pemeo “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” seperti sering diindoktrinasikan Pemerintah Indonesia melalui berbagai rezim pemerintahan sejak disemai oleh Orde Baru, maka para profesor adalah mahkota cendekia yang menebarkan kilau martabat bangsa ini. Kepada mereka bangsa Indonesia harus berterima kasih dengan tidak membiarkan the homeless professor berjuang sendirian di hari tua.

Mendiktisaintek Satryo Brodjonegoro-yang juga seorang Guru Besar—dan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait, bisa berkolaborasi dan bersinergi menemukan formula yang tepat untuk mencari solusi masalah ini dalam menunjukkan martabat dan marwah Indonesia sebagai bangsa yang menghargai para pendidik—para pahlawan tanpa jasa itu.

Hari Pahlawan 10 November 2024 ini bisa menjadi momentum untuk menggelindingkan ide yang lebih realistis dalam mengaktualiasi nilai-nilai kepahlawanan di bidang pendidikan. Agar para Guru Besar yang kita hormati dan banggakan, bisa memiliki rumah mereka sendiri sebagai tempat berteduh di hari tua.
 

Cibubur, 9 November 2024

*Sosiolog dan prosais, penulis 25 judul buku

A PHP Error was encountered

Severity: Core Warning

Message: Module 'igbinary' already loaded

Filename: Unknown

Line Number: 0

Backtrace: