Kaki Guru Supriyani menginjak kembali tanah sekolah yang
menyaksikan perjuangannya. Udara pagi itu tak lagi sekadar angin. Ia
adalah napas dari ratusan hati kecil yang menunggu dengan rindu yang
menusuk tulang. Pintu gerbang SDN 4 Baito seolah membuka pelukan besar.
Lalu, merangkulnya dengan segenap kerinduan tak terbendung. Dari
kejauhan, terdengar suara tangis tertahan. Serupa rintihan embun yang
pecah di ujung daun. Murid-murid yang setia berdiri di sepanjang jalan
masuk, menyambut sosok yang begitu mereka cintai.
- Puluhan
surat dalam genggaman tangan mungil mereka adalah bukti cinta yang tak
bisa diukur kata-kata. Tulisan-tulisan goyah dengan tinta yang mulai
memudar karena air mata. Air mata rindu yang mengalir dari mata yang tak
pernah lelah menanti. “Bu Guru, kami rindu. Kapan kita bisa belajar
bersama lagi?” Sebuah kalimat sederhana, namun terasa seperti nyanyian
pilu yang menyayat hati.
- Saat
Supriyani melangkah lebih dekat, salah seorang murid berlari mendekat,
memeluknya erat seakan tak ingin melepas. “Kami sayang Ibu Guru,” bisik
si kecil, suaranya gemetar. Pada saat itu, sekolah tak lagi tempat untuk
belajar dan mengajar, ia telah menjadi panggung air mata dan
keikhlasan, tempat cinta sejati dipertontonkan tanpa malu-malu. Para
guru lain pun tak kuasa menahan rasa haru yang menggulung seperti badai,
mengiringi alunan lembut lagu ‘Hymne Guru’ yang berkumandang dari bibir
para siswa.
- Supriyani, yang
matanya sudah dibasahi perasaan yang tak tertahankan, mencoba berbicara,
tetapi suaranya tercekat oleh isakan. “Anak-anak...,” hanya itu yang
mampu keluar sebelum ia terdiam, membiarkan keheningan bicara untuknya.
Air mata yang jatuh di pipinya bercerita lebih dari sekadar kalimat
panjang. Ia bercerita tentang malam-malam yang penuh doa, ketidakpastian
yang menggelayuti batin, dan rasa syukur yang tak berujung karena cinta
ini masih ada. Cinta dari mereka yang tak pernah menghakimi, yang
memeluk tanpa syarat.
- Tak seorang
pun dapat mengerti benar bagaimana seorang guru bisa bertahan dalam
badai tuduhan yang menghancurkan. Namun, di hadapan anak-anak yang tak
lelah mencintainya, Supriyani menemukan kekuatan yang tak mungkin
dihitung dengan akal manusia. Setiap pelukan kecil, setiap air mata
tulus yang jatuh dari mata-mata polos itu adalah cahaya yang menuntunnya
keluar dari lorong gelap bernama ketidakadilan. Maka
ketika lagu selesai, dan ruangan kembali hening, surat-surat kecil itu
dipegangnya erat-erat. Satu surat dengan huruf-huruf besar
berwarna-warni menarik perhatiannya. “Selamat pulang, guruku. I Love You.”
Dalam keharuan yang tak terperi, ia pun tahu bahwa perjuangannya belum
selesai. Jalan panjang masih membentang di depan, penuh duri dan
kerikil. Namun, ada satu hal yang kini ia yakini, ia tidak sendirian. Di
sisinya, ada ratusan jiwa kecil yang menggenggam tangannya, bersama
meniti hari, dengan harapan dan cinta yang tak pernah padam.
- Hari
itu, di bawah langit yang seolah ikut menangis, Supriyani kembali
mengingat apa artinya menjadi seorang guru. Bukan sekadar mengajar,
tetapi mencintai dengan segenap jiwa, bahkan ketika dunia seolah
berpaling.
- Kaki Guru Supriyani menginjak kembali tanah sekolah yang menyaksikan perjuangannya. Udara pagi itu tak lagi sekadar angin. Ia adalah napas dari ratusan hati kecil yang menunggu dengan rindu yang menusuk tulang. Pintu gerbang SDN 4 Baito seolah membuka pelukan besar. Lalu, merangkulnya dengan segenap kerinduan tak terbendung. Dari kejauhan, terdengar suara tangis tertahan. Serupa rintihan embun yang pecah di ujung daun. Murid-murid yang setia berdiri di sepanjang jalan masuk, menyambut sosok yang begitu mereka cintai.
- Puluhan surat dalam genggaman tangan mungil mereka adalah bukti cinta yang tak bisa diukur kata-kata. Tulisan-tulisan goyah dengan tinta yang mulai memudar karena air mata. Air mata rindu yang mengalir dari mata yang tak pernah lelah menanti. “Bu Guru, kami rindu. Kapan kita bisa belajar bersama lagi?” Sebuah kalimat sederhana, namun terasa seperti nyanyian pilu yang menyayat hati. Saat Supriyani melangkah lebih dekat, salah seorang murid berlari mendekat, memeluknya erat seakan tak ingin melepas. “Kami sayang Ibu Guru,” bisik si kecil, suaranya gemetar. Pada saat itu, sekolah tak lagi tempat untuk belajar dan mengajar, ia telah menjadi panggung air mata dan keikhlasan, tempat cinta sejati dipertontonkan tanpa malu-malu. Para guru lain pun tak kuasa menahan rasa haru yang menggulung seperti badai, mengiringi alunan lembut lagu ‘Hymne Guru’ yang berkumandang dari bibir para siswa.
- Supriyani, yang matanya sudah dibasahi perasaan yang tak tertahankan, mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat oleh isakan. “Anak-anak...,” hanya itu yang mampu keluar sebelum ia terdiam, membiarkan keheningan bicara untuknya. Air mata yang jatuh di pipinya bercerita lebih dari sekadar kalimat panjang. Ia bercerita tentang malam-malam yang penuh doa, ketidakpastian yang menggelayuti batin, dan rasa syukur yang tak berujung karena cinta ini masih ada. Cinta dari mereka yang tak pernah menghakimi, yang memeluk tanpa syarat.
- Tak seorang pun dapat mengerti benar bagaimana seorang guru bisa bertahan dalam badai tuduhan yang menghancurkan. Namun, di hadapan anak-anak yang tak lelah mencintainya, Supriyani menemukan kekuatan yang tak mungkin dihitung dengan akal manusia. Setiap pelukan kecil, setiap air mata tulus yang jatuh dari mata-mata polos itu adalah cahaya yang menuntunnya keluar dari lorong gelap bernama ketidakadilan. Maka ketika lagu selesai, dan ruangan kembali hening, surat-surat kecil itu dipegangnya erat-erat. Satu surat dengan huruf-huruf besar berwarna-warni menarik perhatiannya. “Selamat pulang, guruku. I Love You.” Dalam keharuan yang tak terperi, ia pun tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Jalan panjang masih membentang di depan, penuh duri dan kerikil. Namun, ada satu hal yang kini ia yakini, ia tidak sendirian. Di sisinya, ada ratusan jiwa kecil yang menggenggam tangannya, bersama meniti hari, dengan harapan dan cinta yang tak pernah padam.
- Hari itu, di bawah langit yang seolah ikut menangis, Supriyani kembali mengingat apa artinya menjadi seorang guru. Bukan sekadar mengajar, tetapi mencintai dengan segenap jiwa, bahkan ketika dunia seolah berpaling.