Di negeri yang digadang-gadang mencintai keadilan, seorang guru honorer bernama Supriyani kini tersandera. Belum tuntas luka dari kasus penganiayaan yang dituduhkan padanya, kini ia mendapat ancaman baru. Seakan peluru berikutnya datang dari arah yang tak disangka, Bupati Konawe Selatan.
Bayangkan wak! Supriyani, seorang guru yang hanya ingin berjuang demi pendidikan anak-anak, terpaksa menandatangani "kesepakatan damai" di Rumah Jabatan Bupati. Apakah kesepakatan itu benar-benar damai atau hanya damai di atas kertas? Dengan suara lemah, ia mengaku ditekan untuk menandatangani. Bahkan, tanpa tahu sepenuhnya isi kesepakatan. Lantas, di tengah remuk hatinya, ia mencoba menarik kembali persetujuan yang dirasa mencederai keadilan itu. Namun, respons pemerintah begitu dingin. Satu kata terlempar, somasi. Tanda tangan yang tadinya terpaksa kini harus dicabut lagi, atau bersiaplah menghadapi tuntutan hukum. Sungguh ironi!
Apa daya seorang guru honorer melawan lengan panjang penguasa? Sosoknya yang berdiri di depan kelas kini terguncang, seolah palu godam ketidakadilan mendarat di pundaknya. Di hadapan pejabat, di ruang yang megah, bisakah ia menyangkal tanda tangannya, meskipun jiwanya menggerutu dan hatinya gundah?
Lebih dari itu, cerita semakin pilu saat Supriyani mengungkapkan permintaan uang damai Rp50 juta dari pihak kepolisian setempat, seolah-olah kedamaian adalah barang dagangan yang bisa dipertukarkan. Sebuah permintaan yang bukan sekadar rumor. Di hadapan Propam, Supriyani dengan berani mengisahkan betapa perdamaian telah dijadikan komoditas, dan betapa sulitnya mencari ketenangan bagi seorang guru yang kini dianggap musuh.
Entah bagaimana logika dan nurani berdampingan di sini. Di balik tumpukan pasal, apakah yang terlupakan adalah kemanusiaan? Bahwa seorang guru yang hanya ingin mengajar sepatutnya didampingi, dilindungi. Bukan, diseret ke dalam pusaran hukum yang kejam dan seakan tak mengenal ampun. Kini ia bagai berdiri di atas garis tipis antara tuntutan hidup yang menyesakkan dan harapan yang terkoyak oleh birokrasi.
Adakah yang tersentuh dengan kisah ini? Atau mungkinkah, wajah keadilan kita justru menatap ke arah lain, lebih sibuk menyelamatkan citra, lebih tertarik menjaga harga diri daripada mengulurkan tangan pada seorang guru yang merindukan keadilan?
Ini adalah kisah Supriyani. Namun di balik namanya, ini adalah kisah tentang keadilan yang tak kunjung datang bagi mereka yang hidup di bawah, yang setiap harinya hanya berbekal kesederhanaan dan ketulusan untuk membangun negeri, tetapi sering terhempas dalam palung kejamnya kekuasaan. Di negeri ini, harga sebuah nama bisa lebih tinggi dari nasib seorang guru. Di situ kita bertanya-tanya, apakah keadilan memang masih ada di sana?
9 hrs ago
2.30K
132