Minggu, 20 Apr 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Sakral, Profan dan Kepekaan
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
Penulis: Wayan Suyadnya
Analisis - 07 Apr 2025 - Views: 48
image empty
Ilustrasi

Dalam jagat kebudayaan dan keberagamaan, umat Hindu sedang dihadapkan pada sebuah paradoks yang mencemaskan: ketika kesakralan justru dikikis oleh pihak-pihak yang mestinya menjadi penjaganya. Fenomena ini nyata terlihat dalam pergeseran makna dan atmosfer upacara keagamaan, khususnya dalam tradisi Hindu di Bali dan daerah lainnnya di negeri ini.

Upacara yang seharusnya menjadi ruang sunyi dan khidmat dalam persembahan, kini perlahan berubah menjadi ruang tontonan yang meriah dan profan. Salah satu bentuk penghayatan yang luhur dalam upacara Hindu adalah nyolahan canang sari, tarian spontan sebagai persembahan tulus kepada Ida Bhatara yang telah tedun dan malinggih maring kahyangan.

Ekspresi pada tarian ini tidak mengenal pakem teknis, tidak mengenal penilaian estetis, karena ia murni merupakan manifestasi rasa bakti. Ia bukan pertunjukan, melainkan persembahan. Karenanya, yang menilai bukan manusia, tetapi Sang Hyang Widhi. Namun, ada upaya, disadari atau tidak, dengan dalih kreativitas, menggeser bahkan mengaburkan batas antara ngayah dan mesolah pada tempat umum. Jika tak dikritisi, upacara tidak lagi menjadi ruang kontemplasi spiritual, melainkan berubah menjadi panggung hiburan massal. Seringkali terlihat tari-tarian ditampilkan secara berlebihan, tanpa membedakan antara tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan.

Para pemedek berubah menjadi penonton, tak jarang pula para tokoh, aktivis budaya, bahkan intelektual keagamaan, ikut tepuk tangan. Mereka justru menjadi pelopor dari perubahan ini.

Paradoks inilah yang mengusik kesadaran: kreativitas yang seharusnya memperkuat nilai, justru digunakan untuk mendobrak batas sakralitas. Dengan dalih inovasi dan pelestarian budaya, kesakralan dikompromikan. Upacara menjadi semarak, tetapi kehilangan aura. Meriah, namun hampa.

Kekeliruan tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga filosofis.

Ketika upacara dijadikan ajang tontonan, maka hakikatnya telah terjadi pergeseran epistemologis dari “menyembah” menjadi “mempertontonkan”.

Ini bukan sekadar soal bentuk, melainkan soal arah spiritualitas. Upacara yang semestinya membawa pemedek mendekat kepada Sang Pencipta, justru menjauhkan mereka karena terserap dalam euforia duniawi. Lebih tragis lagi, banyak dari umat yang datang dari jauh dengan niat tangkil dan nunas—bahkan hanya sekali dalam setahun atau satu dekade—tidak lagi menemukan ruang hening yang mereka rindukan. Mereka menemukan panggung, pengeras suara, dekorasi gemerlap, dan suara-suara manusia yang lebih dominan daripada suara hati. Sudah saatnya umat Hindu kembali menata ulang cara pandang terhadap upacara. Kreativitas dalam konteks sakralitas harus ditempatkan sebagai kekuatan pengokoh, bukan penghancur.

Intelektual, seniman, dan aktivis budaya memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga batas antara yang suci dan yang profan. Sakralitas bukan untuk ditampilkan, melainkan untuk dihayati. Mengembalikan kesakralan bukan berarti menolak perubahan, tetapi memastikan bahwa perubahan itu tetap menempatkan Ida Bhatara sebagai pusat, bukan sebagai latar.

Upacara bukan pertunjukan publik, ia adalah persembahan pribadi kolektif kepada Yang Maha Suci. Jika kita abai, maka perlahan, upacara akan kehilangan makna. Yang tersisa hanyalah bentuk kosong, panggung yang megah tapi tak berjiwa. Dan saat itu tiba, barangkali bukan Ida Bhatara yang hadir di pelinggih, melainkan ego kolektif kita sendiri—bertepuk tangan untuk diri sendiri, lupa pada Sang Pencipta yang hadir pada upacara yang disucikan itu.

 

Denpasar, 7 April 2025

A PHP Error was encountered

Severity: Core Warning

Message: Module 'igbinary' already loaded

Filename: Unknown

Line Number: 0

Backtrace: