Penulis: Meja Redaksi Lida Rakyat Politik -
08 Nov 2024 -
Views: 1.55K
Ilustrasi
Ilustrasi Pemilih
Kalau di sini, orang pindah dukungan, biasa. Beda dengan di Amerika Serikat, pemilih Muslim yang dulu setia di Demokrat, sekarang beralih ke Partai Republik, dan menjad kunci kemenangan Donald Trump.
Mari kita bahas Pilpres di negeri Paman Sam yang tak kalah panas dengan Pilpres di sini. Di panggung politik Amerika terjadi pertunjukan luar biasa. Bayangkan orkestra megah yang dimainkan dengan dentingan simbal kejut, itulah momen saat komunitas Muslim dan Arab Amerika memutuskan mengubah alur tari panggung Demokrat ke lantai dansa Partai Republik, dipimpin oleh the one and only maestro Donald Trump. Siapa sangka, mereka yang dulu setia bernyanyi “Yes We Can!” kini teriak “Make America Great Again!”
Bagaikan riwayat cinta yang berakhir dengan drama memusingkan, suara dari kelompok ini mulai berpaling, meninggalkan kekasih lama, Partai Demokrat. Selama dua dekade, kaum Muslim memanjakan Demokrat dengan janji-janji manis seperti malam penuh bintang yang tak kunjung tiba. Tapi siapa yang bisa menyalahkan? Seperti drama Shakespeare dengan bumbu tragedi ala Timur Tengah, perang Gaza menjadi babak puncak yang membakar rasa marah dan mengukir kecewa di hati mereka. Di tengah asap konflik dan suara pilu, kesetiaan tak lagi berwarna biru. Seakan tersulut oleh api semangat baru, Trump dengan tatanan rambut yang tak pernah bisa dijinakkan, bak pernyataan politik itu sendiri, menerima lonjakan suara fantastis di Michigan. Dearborn, tanah suci diaspora Arab, yang dulu menjadi benteng Demokrat, kini menjadi medan tempur baru. Trump naik dari 30 persen menjadi 42 persen, meninggalkan Wakil Presiden Kamala Harris yang hanya mampu menyelipkan senyum sumbing. Sementara angka dukungannya merosot lebih curam dari harga saham di hari buruk Wall Street.
Di Hamtramck, kota yang lebih Muslim dari pada kebanyakan negara bagian di Timur Tengah, Trump kembali tampil seperti bintang pop yang diundang di pernikahan Timur Tengah. Ia menggebrak angka 43 persen. Sementara Harris berkutat dalam nostalgia dengan sisa-sisa 46 persen dukungan yang terasa hambar. Jill Stein, sosok langka dari Partai Hijau, berhasil menyulap gerakan “hijau” yang lain, dompet para pemilih, dengan menyumbang semburat harapan di tengah kecewa. Bahkan, dia berhasil meraih 18 persen suara, karena, mengapa tidak? Siapa yang tidak ingin sedikit kekacauan untuk bumbu politik? Sebuah Simfoni Ketidakpuasan James Zogby, pemimpin Institut Arab Amerika, mungkin harus menambah bab baru dalam bukunya tentang loyalitas politik komunitas Arab. “Gaza adalah simfoni derita yang membuat orkestra suara pemilih ini berubah nada,” katanya, sambil menatap data polling seperti orakel yang mencoba membaca makna dari ombak lautan. Siapa yang bisa menduga, hati yang terluka lebih cepat berpaling dibandingkan politikus yang lupa janji kampanyenya.
CAIR, sang penjaga suara hati Muslim Amerika, mencatat hasil yang tak kalah dramatis. Kurang dari setengah pemilih Muslim mendukung Harris. Angka yang mungkin cukup membuat seorang penasihat politik Demokrat pingsan di belakang panggung. Bagaimana bisa, komunitas yang dulu memeluk erat Demokrat kini terbelah antara Trump, Stein, dan kekecewaan yang nyata? Perjalanan panjang dua dekade dukungan setia kepada Partai Demokrat kini terhenti di tepi jurang ketidakpastian. Ini seperti kapal yang lupa jalannya menuju pantai. Sebuah pengingat bahwa politik adalah seni tentang siapa yang terakhir mengukir kesan di hati, dan Gaza ternyata lebih kuat darinpada seribu pidato kampanye.
Trump, dengan senyum kemenangan yang mungkin lebih cemerlang dari pada lampu Gedung Putih, bersiap untuk masa jabatan keduanya. Sebuah masa depan baru bagi Amerika Serikat, di mana loyalitas politik bukan lagi mantra setia, tapi sekadar permainan catur di papan yang terus berubah. Selamat datang di negeri yang absurd, di mana suara berayun seperti pendulum di bawah bayang-bayang bintang dan garis.