Selasa, 18 Nov 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Puisi Esai Digital sebagai Jembatan Empati untuk Generasi Muda
Inspirasi Literasi Indonesia
Penulis: Ririe Aiko*
Style - 10 Nov 2025 - Views: 121
image empty
Ilustrasi lidahrakyat.com/AI

Kehadiran teknologi digital telah mengubah cara generasi muda berinteraksi dengan pengetahuan, seni, dan ruang sosial. Buku cetak perlahan tergeser oleh layar ponsel; membaca tergantikan oleh aktivitas scrolling berdurasi singkat. Fenomena ini bukan sekadar pergeseran medium, melainkan perubahan cara otak dan emosi manusia terbentuk. Kebiasaan mengonsumsi konten singkat, seperti video berdurasi 10 hingga 60 detik di TikTok, membentuk pola perhatian baru dan beresiko terkena brain rot.

Banyak anak dan remaja menghabiskan waktu berjam-jam untuk menelusuri video pendek yang menghibur, namun jarang menyisihkan waktu untuk membaca, khususnya sastra. Fenomena ini bukan hanya persoalan kebiasaan, melainkan persoalan tentang bagaimana karakter dan empati dibentuk melalui tontonan.

Sastra, khususnya yang hadir dalam bentuk fiksi atau puisi, pada dasarnya adalah jendela perasaan manusia. Ketika membaca, kita diajak memasuki kehidupan orang lain: memahami kesedihan, harapan, kehilangan, perjuangan, dan kegembiraan yang mungkin tidak pernah kita alami secara langsung. Melalui tokoh dan alur cerita, pembaca mempelajari cara merasa, bukan hanya berpikir. Karena itu, membaca menumbuhkan kepedulian: ia melatih kita untuk tidak hanya melihat dunia dari sudut pandang sendiri, tetapi memahami bahwa setiap manusia membawa beban, kisah, dan alasan yang berbeda. Berbeda dengan itu, konsumsi konten yang serba cepat sering kali membuat kita hanya menjadi pengamat yang terus bergerak dari satu cuplikan ke cuplikan lain. Emosi hadir sekilas, namun tidak menetap. Tidak ada ruang untuk merenung. Tidak ada kedalaman. Bukan berarti dunia digital harus ditinggalkan, yang diperlukan adalah jembatan yaitu cara mempertemukan kedalaman pengalaman sastra dengan medium digital yang dekat dengan generasi hari ini.

Sebagai generasi yang hidup di persimpangan antara masa analog dan era digital, saya merasakan kebutuhan untuk menjembatani itu. Karena itulah saya mulai menulis dan menyebarkan karya dalam bentuk puisi esai melalui platform digital Tiktok. Melalui video puisi esai yang dipadukan dengan musik, saya berusaha membawa pesan puisi esai lebih dekat kepada pendengar, sehingga ia tidak hanya dibaca, tetapi juga dirasakan. Hasilnya perlahan tampak. Puisi-puisi esai yang saya unggah di TikTok mulai dibaca oleh banyak orang. Ada postingan yang mencapai ratusan hingga puluhan ribu view. Tapi bagi saya yang lebih penting dari sekedar algoritma adalah respons: komentar, pesan, dan tanda bahwa orang-orang ikut merasakan sesuatu dan mereka tersentuh untuk bergerak. Misalnya, puisi esai saya berjudul "Ia Ingin Dipenjara Agar Bisa Makan", yang mengisahkan Randika Alzatria Syaputra—seorang pemuda yang berharap masuk penjara demi mendapatkan makanan. Karya ini menembus ribuan tayangan dan menyentuh banyak hati, menggerakkan kepedulian terhadap sesama, sekaligus menjadi simbol satiris tentang kemiskinan yang nyata di sekitar kita.

Begitulah sebuah puisi esai tersampaikan dan menyentuh isu kemanusiaan yang penting untuk kita renungkan. Dari sini saya menyadari bahwa ruang digital bukan hambatan bagi sastra, melainkan jembatan. Selama kita mampu menyampaikannya dengan cara yang mudah diterima, sastra tetap dapat hadir dan bermakna bagi generasi kita berikutnya.

*Penulis adalah Aktif Sastra dan Ketua Komunitas Puisi Esai Bandung

Komentar (1)
REMIGIUS UA
10 November 2025, 16:25 WIB
Ulasan yang menarik