Jumat, 25 Apr 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Perluasan Kewenangan DPR : Wujud Kelalaian Legislatif
Analisis Hukum Ketatanegaraan
Penulis: Al Ghozali Hide Wulakada*
Analisis - 09 Feb 2025 - Views: 237
image empty
Dok. Foto lidahrakyat.com
Foto. Dr. Al Ghozali Hide Wulakada, SH., MH. Dosen Filsafat Hukum dan Pakar Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta
“Yang dikejar tak dapat, yang dikendong berciciran” Pribahasa ini patut disandingkan pada Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) yang hendak melakukan revisi Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tatib untuk memperluas pengawasan terhadap Ketua/dan Anggota sejumlah badan /lembaga negara yang dipilih/disetujui DPR.

Kekisruhan ketatanegaraan terkait rencana revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib). Pasalnya melalui revisi tersebut, DPR membuat kewenangan baru agar dapat mengevaluasi kinerja dari pada sejumlah pimpinan Badan atau Lembaga Negara yang kedudukannya dipilih atau disetujui oleh DPR. Seperti Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ketua dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua dan anggota Komisi Yudisial (KY), Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, Duta Besar Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Perlu dipahami bahwa Peraturan DPR tentang Tata Tertib tidak berkekuatan hukum menjadi dasar kewenangan tersebut, karena bertentangan dengan prinsip hirarki kewenangan. Tata tertib hanya memiliki kekuatan terhadap pengaturan internal kelembagaan DPR, tidak bisa menjangkau kewenangan lembaga eksternal DPR, tetapi DPR sebagai lembaga negara yang lahir dari Pemilihan langsung rakyat, sejatinya memiliki kewenangan melakukan pengawasan sekaligus evaluasi terhadap lembaga-lembaga dimaksud. Jika kewenangan tersebut hendak dikuatkan maka pengaturannya harus melalui Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU.MD3).

Kekwatiran masyarakat pro demokrasi ialah muncul legitimasi kedigdayaan legislatif. Kekuasaan legislative mendominasi kekuasaan eksekutif, terutama judikatif. Tetapi faktanya, kekuasaan judikatif secara formil selama ini memang lemah, karena mereka tidak dipilih langsung oleh rakyat. Jelas saja, kualitas kekuasaan judikatif sangat bergantung pada kekuasaan legislatif yang selama ini berperan memilih dan menyetujui kedudukan mereka. Di sisi lain, kualitas kerja penegakan hukum belakangan ini menjadi persoalan utama, mulai dari organisasi Advokat, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia hingga para hakim di bawah lembaga peradilan. Jika inti gagasan tersebut dalam rangka perbaikan maka patut dipandang sebagai respon positif DPR terhadap carutmarutnya kekuasaan Yudikatif saat ini.

Kewenangan pengawasan DPR dimaksud dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 69 sampai dengan Pasal 80 UU MD3. Kewenangan pengawasan dilaksanakan melalui mekansime hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Luaran politik dari tiga kewenangan tersebut menjadi klaim hukum yang eksekusinya diatur dalam peraturan terkait masing-masing lembaga berupa sanksi administrasi hingga pemberhentian dari tugas jabatan. DPR memiliki kekuatan politik untuk mempengaruhi putusan pengadilan terhadap kinerja para hakim agung, hakim konstitusi dan atau ketua serta anggota lembaga lainnya. Lantas apa urgensinya gagasan perluasan kewenangan tersebut oleh DPR ? Jelas saja hal tersebut menjadi kecurigaan oleh banyak kalangan.

Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, DPR melalui Komisi III pernah memanggil hakim konstitusi terkait klarifikasi pelanggaran kasus etika hakim MK jika adanya putusan kontroversial dalam putusan. DPR juga pernah memanggil Ketua MK Anwar Usman pada tahun 2023, setelah mengeluarkan putusan mengubah aturan pencalonan capres-cawapres terkait batas usia. Pemanggilan hakim agung juga pernah dilakukan DPR, terkait kasus suap yang melibatkan pejabat di MA sepanjang tahun 2022-2023 dan kinerja peradilan, terutama dalam menangani perkara yang menyangkut kepentingan publik. Hasil dari pemanggilan dalam forum dengar pendapat tersebut hanya bersifat seremonial, sama sekali tidak menghasilkan luaran sikap politik yang tegas dan jelas. Realitas tersebut menyebabkan DPR patut menyandang kalimat “Yang dikejar tak dapat, yang dikendong berciciran”, “Bagai tikus jatuh ke beras, yang lama ditinggalkan, yang baru dicoba”, “Belum bergigi hendak menggigit”.

*Penulis adalah Pakar Ilmu Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

A PHP Error was encountered

Severity: Core Warning

Message: Module 'igbinary' already loaded

Filename: Unknown

Line Number: 0

Backtrace: