LIDAHRAKYAT.COM- Dunia modern meletakkan uang di singgasana tertinggi. Dari pagi hingga malam, manusia bekerja, membanting tulang, mengejar sesuatu yang diyakini sebagai sumber kebahagiaan: uang. Kita menyebutnya sebagai “raja dunia” karena ia seperti penguasa yang menentukan siapa dihormati dan siapa diremehkan. Namun, kita sering terjebak dalam lupa yang menyakitkan: uang diciptakan manusia, bukan sebaliknya.
Tanpa manusia, uang bukan apa-apa. Hanya kertas lusuh dan angka digital tanpa nyawa. Tetapi kini, manusia justru tunduk, bersujud, dan rela mengorbankan nurani demi selembar kertas itu. Di tengah hiruk-pikuk peradaban, kita menyaksikan tragedi yang diam-diam merampas kemuliaan manusia: ketika uang bukan lagi alat, melainkan tuhan baru yang dipuji.
Hari ini dunia menjunjung tinggi satu semboyan: “Uang adalah Raja Dunia.”
Ungkapan ini tampak berwibawa, tetapi juga menusuk hati. Seolah-olah manusia tidak lagi dianggap bernilai jika tidak bergelimang uang. Kita hidup dalam zaman ketika harga diri ditentukan dari nominal, bukan dari moral. Ketika kesuksesan diukur dari kekayaan, bukan dari kebaikan. Padahal sesungguhnya, uang tidak pernah lahir dengan sendirinya. Ia ada karena manusia sepakat memberi nilai padanya. Seperti raja tanpa rakyat, uang tidak akan berkuasa bila manusia tidak menaatinya. Namun ironi itu justru berubah: manusia yang menciptakan uang kini bergantung padanya sebagai sumber martabat.
Nilai Kemanusiaan yang Dikorbankan
Korupsi, perampokan, penindasan, manipulasi, hingga perdagangan manusia—semua itu membuktikan bahwa kerakusan telah mengalahkan nurani. Untuk uang, seseorang rela menukar:
Kejujuran dengan kebohongan
Persahabatan dengan pengkhianatan
Kehormatan dengan keserakahan
Bahkan nyawa dengan harta
Apa artinya kaya jika hati miskin cinta kasih?
Apa artinya harta jika hilang rasa kemanusiaan?
Sejumlah filsuf telah memperingatkan:
• Aristoteles: Uang hanyalah alat. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan bermoral (eudaimonia).
• Immanuel Kant: Manusia adalah tujuan, bukan alat kepentingan.
• Karl Marx: Ketika manusia dinilai dari materi, ia terasing dari dirinya sendiri.
Namun jauh sebelum kita mendengar nasihat itu, keserakahan sudah menjadi bagian dari sejarah manusia.
Saatnya Menurunkan Uang dari Takhta
Kita tidak sedang memusuhi uang. Kita membutuhkannya untuk hidup.Tetapi hidup kita tidak boleh bergantung padanya untuk menjadi manusia.
Manusia memiliki martabat jauh lebih tinggi: manusia dapat mencintai, mengasihi, memberi, dan berbagi.
Itulah kekayaan yang tidak bisa dibeli, dan justru bertambah ketika dibagikan. Jika uang adalah raja hari ini, maka kemanusiaan harus menjadi seluruh kerajaannya. Uang boleh berada di tangan, tetapi jangan pernah ia diletakkan di hati.
Pada akhirnya, kita harus bertanya:
Untuk apa memiliki dunia jika dalam pencapaiannya kita kehilangan kemanusiaan?
Uang bisa membeli rumah, tetapi tidak bisa membeli kehangatan keluarga.
Uang bisa membeli obat, tetapi tidak bisa membeli kesembuhan total
Uang bisa membeli ranjang,tetapi tidak bisa membeli tidur yang nyenyak.
Dan uang bisa membeli tubuh, tetapi tidak akan pernah membeli cinta.
Jika suatu hari dunia menobatkan uang sebagai “Tuhan”, maka saat itu juga kita kehilangan surga kemanusiaan. Karena itu, marilah kita teguhkan kembali: Martabat manusia lebih tinggi daripada uang.
Selama cinta, empati, dan integritas masih hidup dalam hati kita,maka harapan untuk dunia yang lebih manusiawi akan tetap terjaga.
*Penulis adalah pemerhati pendidikan serta isu-isu kemanusiaan. Saat ini mengabdi sebagai guru matematika di SMP Negeri Wini, Nusa Tenggara Timur. Menulis sebagai bentuk perjuangan menjaga martabat manusia dan menyalakan harapan bagi generasi muda.
2.78K
141