Selasa, 18 Nov 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Guru sebagai Pahlawan Sunyi: Menjaga Marwah Peradaban di Tengah Gelombang Zaman
Refleksi Hari Pahlawan
Penulis: Yohanes Nahak, S.Pd*
Opini - 10 Nov 2025 - Views: 142
image empty
Dok. Pribadi
Yohannes Nahak, S.Pd

LIDAHRAKYAT.COM- Setiap tanggal 10 November, bangsa kita mengenang para pahlawan yang gugur di medan perang. Jasanya membentuk fondasi negara ini, direbut dengan taruhan nyawa dan darah. Namun, jika pahlawan dimaknai sebagai pejuang yang menyerahkan hidupnya untuk kemajuan bangsa, maka ada sosok lain yang perjuangannya tak kalah dahsyat, meski sering tak terdengar: guru.

Hari Pahlawan bukan sekadar ritual mengenang masa lalu, tetapi juga momen untuk mengenali sumber energi yang menjaga denyut nadi bangsa—dan guru adalah sumber itu. Mereka adalah arsitek peradaban yang bekerja di balik layar, menyemai benih masa depan di ruang-ruang kelas yang sering kali jauh dari gemuruh apresiasi. Dalam kesunyian tugasnya, guru justru menjadi penjaga gerbang masa depan Indonesia.

Makna Pahlawan dalam Konteks Kekinian

Secara filosofis, pahlawan adalah mereka yang menghasilkan phala (buah) bagi kehidupan orang banyak. Buah itu bisa berupa kemerdekaan, nilai kemanusiaan, atau—dalam hal guru—modal intelektual dan karakter. Perjuangan fisik merebut kemerdekaan mungkin telah usai, tetapi perang melawan kebodohan, misinformasi, dan degradasi moral justru kian kompleks. Di sinilah guru berdiri di garis depan.

Perjuangan mereka tidak lagi melawan penjajah asing, tetapi melawan "penjajahan" baru: ketimpangan akses pendidikan, banjir informasi yang menyesatkan, dan erosi nilai-nilai kebangsaan. Bila pahlawan dulu berjuang untuk memiliki sebuah negara, guru hari ini berjuang untuk menentukan arah dan karakter negara itu di masa depan. Mereka adalah pahlawan yang bertempur melawan arus pendangkalan berpikir dan krisis identitas.

Guru sebagai Penjaga Rantai Peradaban

Guru bukan hanya pengajar, tetapi penjaga rantai peradaban. Mereka meneruskan pengetahuan yang terakumulasi selama ribuan tahun—dari rumus matematika kuno hingga nilai-nilai kearifan lokal—kepada generasi penerus. Dalam konteks Indonesia yang multikultural, peran ini menjadi sangat vital. Seorang guru di Kabupaten TTU, misalnya, tidak hanya mengajarkan Bahasa Indonesia, tetapi juga menjadi benteng terakhir pelestarian bahasa dan budaya daerah di tengah gempuran globalisasi.

Secara spiritual, dalam banyak tradisi, memberi ilmu adalah amal jariyah. Namun, warisan guru yang sesungguhnya bukan hanya pahala, melainkan jejak kemanusiaan yang abadi. Seorang guru yang baik tidak pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam cara berpikir kritis yang ditanamkannya, dalam integritas yang dicontohkannya, dan dalam keputusan-keputusan bijak yang diambil oleh murid-muridnya. Mereka adalah pahlawan yang mewariskan keabadian melalui transformasi akal dan budi pekerti.

Medan Laga Sang Pahlawan Sunyi

Jika pahlawan nasional berperang dengan bedil, guru berperang dengan kapur tulis dan kesabaran. Julukan "pahlawan tanpa tanda jasa" bukanlah romantisme kosong, melainkan cerminan realita yang pahit. Perang sunyi mereka melawan:

1. Beban Administratif yang Membelenggu: Banyak guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengisi dokumen-dokumen administratif daripada berinteraksi dan menyiapkan materi kreatif untuk murid. Ini adalah pertempuran melawan birokrasi yang sering tidak memahami hakikat pembelajaran.

2. Kesenjangan Teknologi dan Sarana: Di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), termasuk di beberapa wilayah NTT, guru berjuang melawan keterbatasan infrastruktur. Bagaimana menjalankan pembelajaran daring jika sinyal internet pun tidak ada? Di sini, guru menjadi "pahlawan adaptasi" yang memaksimalkan sumber daya yang hampir tidak ada.

3. Tekanan Sosial-Ekonomi: Terlepas dari adanya tunjangan sertifikasi, banyak guru, terutama honorer, masih bergulat dengan beban ekonomi. Sulit berkonsentrasi menyalakan "cahaya" ilmu ketika kebutuhan dasar sendiri masih menjadi pergulatan.

4. Degradasi Moral dan Krisis Identitas: Guru kini harus berhadapan dengan tantangan yang tidak dimiliki generasi pendahulu: dampak negatif media sosial, perundungan siber, dan melemahnya nilai-nilai kesopanan. Mereka adalah garda terdepan dalam membentuk karakter dan ketahanan mental anak bangsa di era digital.

Penutup: Dari Hormat Menuju Aksi Nyata

Oleh karena itu, menghidupi makna Hari Pahlawan berarti mengubah cara kita memandang dan memperlakukan guru. Hormat kita tidak boleh berhenti pada upacara dan kata-kata pujian.

Bagi Pemerintah: Perlu kebijakan yang lebih membebaskan dan memampukan guru, bukan kebijakan yang membebani dengan administrasi. Alokasi anggaran pendidikan harus tepat sasaran, menyentuh persoalan paling dasar di lapangan.

 Bagi Masyarakat: Orang tua dan komunitas perlu menjadi mitra sejati guru dalam mendidik anak, bukan menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada sekolah.

Bagi Kita Semua: Mari menjadi penerus cahaya itu. Setiap kita yang pernah merasakan sentuhan seorang guru, wajib meneruskan nilainya—dalam bentuk integritas di pekerjaan, kontribusi pada masyarakat, dan semangat untuk never stop learning.

 

Guru adalah pahlawan bangsa yang sejati. Mereka adalah penjaga api peradaban. Dan kepada mereka, baik yang masih berjuang di kelas maupun yang telah kembali ke keabadian, kita tidak hanya berutang hormat, tetapi juga komitmen untuk melanjutkan perjuangan mereka: menjaga cahaya Indonesia di lorong waktu.

*Penulis adalah seorang pengawas sekolah jenjang SMP pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten TTU. Sebagai pemerhati pendidikan dan budaya daerah, penulis aktif menulis di berbagai media massa dengan fokus pada analisis kebijakan pendidikan, pembelajaran kontekstual, dan pelestarian budaya sebagai pilar pendidikan karakter.