Banyak mengakui partai ini hebat, menang di mana-mana. Partai itu yang hebat, menang di Jawa. Padahal, pemenang sesungguhnya, golongan putih (golput)."Kok, bisa golput yang menang, Bang?"
- "Biselah, wak. Jangan dikira air yang tenang tidak dalam," jawab saya menirukan pujangga hebat dari Kepri. Yok, kita bahas, benarkah pemenang Pilkada sebenarnya adalah kaum golput.
- Siapa sangka, di tengah gegap gempita Pilkada Serentak 2024, ternyata pemenang sejatinya bukanlah pasangan calon nomor satu, dua, atau bahkan tiga. Pemenang sebenarnya adalah dia yang selalu duduk manis di sudut gelap demokrasi, tak pernah disorot kamera, apalagi diberi panggung oleh para pengamat politik, Golput. Dengan angka kemenangan mencapai 46,91% di DKI Jakarta dan 36,98% di Jawa Barat, Golput seakan berbisik, “Kalian pikir aku lemah? Lihat aku sekarang.”
Golput, yang dulunya dianggap cuma figuran dalam drama politik, kini menjelma jadi superstar. Bukan hanya sekadar pilihan, ia menjadi simbol perlawanan kaum kecewa. "Kalau semua calon sama-sama bikin sakit hati, kenapa aku harus memilih salah satu?” begitu kiranya logika penggemar setia Golput. Rasanya seperti disuruh memilih antara makan durian busuk atau petai basi. Nggak, terima kasih.
- Para calon sibuk memperebutkan panggung dengan janji-janji yang lebih cocok jadi bahan komedi tunggal. Ada yang menjanjikan langit tanpa awan, ada juga yang berikrar membangun jalan tol ke bulan. Namun, Golput? Dia hanya diam di pojok ruangan, sambil menyeringai sinis, tahu bahwa kebisingan itu tidak akan menyentuh hati pemilih.
- Alih-alih memotivasi, kampanye mereka malah jadi meme abadi di media sosial. "Pilih aku, aku akan memperbaiki ekonomi," kata calon A. Tapi di belakang layar? Ekonominya cuma memperbaiki rekening pribadi.
- Dengan angka Golput yang naik drastis, demokrasi kita mirip konser besar yang setengah kursinya kosong. Pemimpin terpilih, meski resmi duduk di singgasana, tak lebih dari raja tanpa mahkota. Legitimasi moral? Entah ke mana perginya. Mereka berkuasa di atas fondasi suara yang tak lebih dari sekadar persentase minimal.
- Beberapa ahli konspirasi bahkan berspekulasi, apa mungkin Golput adalah bagian dari strategi politik? Jangan-jangan, Golput sengaja diciptakan sebagai tameng agar kekuatan tertentu bisa berkuasa dengan suara kecil. Ada juga yang bilang Golput itu agen alien, datang untuk menghancurkan demokrasi dari dalam. Absurd? Tentu saja. Tapi bukankah politik selalu penuh absurditas?
- Golput, si kuda hitam Pilkada, telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan besar yang tak bisa diremehkan. Jika politisi tak segera memperbaiki kredibilitas, jangan kaget kalau di masa depan, kursi pemimpin daerah malah diambil alih oleh kotak kosong. Kalau itu terjadi, mari kita semua tepuk tangan sambil berkata, “Akhirnya, pemimpin yang benar-benar netral.” (Rosadi Jamani)