Jumat, 25 Apr 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Gagal Jadi Menteri
Serpihan Cerpen Lidah Rakyat
Penulis: Yusrizal Karana*
Style - 18 Oct 2024 - Views: 235
image empty
Ilustrasi AI
Ilustrasi Gagal Jadi Menteri

(Cerita Rizal Pandiya)

SEKUMPULAN satgas partai rame-rame menghadap sebuah layar kaca berukuran lebar. Semuanya duduk gak pake aturan, ada yang di kursi, slonjoran di lantai, juga di atas meja, yang biasa digunakan untuk rapat. Wajah-wajah mereka nampak tegang seperti hendak didatangi karyawan pinjol.

Udin, komandan satgas, menatap layar televisi dengan harap-harap cemas. Suasana begitu senyap, hanya terdengar hembusan kipas angin yang berputar malas. Asap rokok menjadi aroma khas ruangan itu, sementara puntungnya bergelimpangan di mana-mana.

“Kok ketua umum kita belum keliatan juga ya?” ujarnya memecah suasana, sambil memalingkan wajah ke anggotanya. Ia meraup segenggam kacang rebus di meja, lalu kembali menghempaskan pantatnya di sofa. Ia mulai kesal karena junjungannya belum nampak juga di layar tivi.

“Mungkin ketua kita dipanggilnya belakangan,” jawab rekannya, yang juga biasa bertugas di pos satgas, yang mirip sel tahanan di depan markas partai tersebut.

Kamera stasiun televisi berita itu, menyoroti setiap calon menteri yang dipanggil presiden terpilih Prabowo Subianto ke kediamannya di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Satu-persatu masuk melalui gerbang pagar kayu, yang dijaga ketat Paspampres.

Ada wajah-wajah baru yang masih asing di mata kader partai itu, tetapi banyak juga wajah lama kabinet pemerintahan rezim, yang beberapa hari lagi selesai masa tugasnya.

Setelah dihitung, tidak kurang dari 16 wajah lama dengan jabatan menteri dan satu wakil menteri dipanggil menghadap “juragan” baru, yang akan memimpin negeri ini untuk lima tahun ke depan.

Tapi setelah 49 nama calon menteri yang dipanggil Prabowo, tak satu pun pucuk pimpinan partainya yang nampak di layar kaca, yang buram karena dilapisi debu. Jangankan ketua atau pengurus partai, kader partai pun tak nampak batang hidungnya. Sementara pimpinan dan kader partai lain dengan semringah masuk rumah mewah di kawasan elite itu.

Lalu suasana menjadi riuh ketika ada nama-nama yang tidak disangka bakal jadi menteri, justru diundang Prabowo. Pertama muncul Taufik Hidayat, atlet bulutangkis yang pernah jadi juara dunia, juara Thomas Cup, dan lain-lain.

“Ah…ini mah paling titipan mertuanya, Agum Gumelar. Dia kan jenderal, teman baik Prabowo,” celetuk salah satu diantaranya. Tapi nggak tau dari mulut siapa komentar itu muncul.

Tak lama sudah itu muncul Raffi Ahmad, selebritis tanah air yang dijuluki Sultan Andara. Meski digoyang dengan isu pencucian uang triliunan rupiah, tapi agaknya tak membuat langkahnya terhenti untuk menjadi menteri.

“Nah…orang ini kok dipanggil jadi menteri? Emang dia bisa apa,” sergah Ucok, yang duduk di belakang komandan. Tapi yang lain, diam saja, seperti memaklumi. Karena di luar negeri, selebritis juga banyak jadi pejabat, bahkan ada yang jadi presiden. Sebut saja Ronald Reagan (AS), Volodymyr Zelensky (Ukraina),  Lech Kaczynski (Polandia), Yoseph Estrada (Filipina) dan lain-lain.

Tak lama sudah itu, muncul Veronica Tan, mantan istri Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama. Suasana kembali menjadi riuh. Kali ini lebih heboh, karena selama ini kiprah sang mantan tidak pernah tercium netizen.

“Lah…itu janda si mulut jamban ngapain ke sana?” ujar seorang kader partai, yang duduk di sebelah komandan.
 
“Hush…nggak boleh ngomong kayak gitu, nanti dikira sentiman,” sergah lelaki yang duduk selonjoran di lantai. Dia penonton tivi yang paling banyak menghabiskan jagung dan kacang rebus, makanan ringan ala ndeso itu.

“Kalo begini caranya nyusun kabinet, bisa ancooor negara!” teriak anggota yang lain, sambil menendang kursi plastik di depannya. Ia nyerocos terus, nggak jelas apakah kesal karena ketua partainya tidak dipanggil Prabowo, atau memang sedang (pura-pura) memikirkan negara.

Baru saja reporter televisi itu selesai on cam reportase, tiba-tiba kepala sekretariat kantor partai itu muncul. Mukanya lecek seperti kertas yang nyangkut di mesin fotocopy. Ia menyeret kursi dengan kasar sambil membanting kunci sepeda motornya di atas meja.

“Ketua kita gagal jadi menteri!” ujarnya lemas.

“Lah…bukannya partai kita bagian dari koalisi? Kenapa nggak kebagian menteri?” jawab anggota kader, yang pakai kaos partai berlogo kodok sawah itu.

“Itu dia masalahnya. Partai kita dikacangin karena minta gabung dengan koalisi partai besar itu!”

Seluruh ruangan terdiam sejenak, lalu wakil komandan satgas memecah keheningan. “Itulah kalau kita nyodorin badan minta berkoalisi! Akibatnya harga diri partai kita hancur. Kita seolah-olah nggak punya pendirian!” katanya sok pintar.

“Ingat nggak waktu acara di mana itu, ketua partai kita bilang, ‘jangan cuma partai kicrut aja yang diajak gabung, kita juga diajak dong’,” sambungnya sambil mengingat-ingat kalimat ketua partainya beberapa bulan lalu.

“Tapi nggak apa-apa. Lebih baik kita di luar pemerintahan aja daripada kumpul dengan para menteri yang hampir semuanya bermasalah dengan hukum,” kata kepala sekretariat itu tiba-tiba. Ia seperti mendapat ilham bahwa partainya lebih baik jadi oposisi.

“Iya juga sih,” sambut yang lain. “Kalau kita berada di pemerintahan, trus ada yang mempersoalkan keberadaan Gibran, bagaimana? Apa kita juga harus membela Gibran? Padahal kan jelas-jelas dia itu jadi wapres karena ada konspirasi dengan MK.”

“Eh….bermasalah dengan hukum bagaimana sih? Kan nggak ada bukti kalau mereka bermasalah.”

“Udah ah…pusing kalau ngebahas itu. Pasti ujung-ujungnya nanyain mana buktinya..? mana buktinya?” tutur Udin, sambil mencibirkan mulutnya.

Seluruh ruangan mendadak senyap, wajah-wajah kader partai berubah seperti melihat pocong. Masa-masa getir tidak menikmati lezatnya kue APBN, mulai menggerayangi benak mereka. Kader partai mulai gamang, karena cuma mengharapkan sumbangan anggota dewan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari bulan ke bulan.

Tak jauh dari kantor partai, persisnya di warung kopi seberang jalan protokol, orang-orang juga membicarakan perihal partai cap kodok yang tidak masuk kabinet. Ibarat main bola, di line up tidak ada, di daftar pemain cadangan pun tidak masuk.

“Jadi bapak itu kemana?” tanya tukang ojek sambil nyeruput kopi hitamnya. Ia tak mampu menahan tawanya hingga nyaris menyemburkan kopi yang bercampur liur di dalam mulutnya.

“Gimana negara ini mau maju, yang diajak jadi menteri orang kusut semua,” teriaknya sambil membersihkan mulutnya dengan tisu. “Itu ketua-ketua partai yang diajak Prabowo kan orang bermasalah semua,” sambungnya.

Semuanya diam. Yang lain nggak berani komen, takut "digaruk" polisi.

“Ya sudahlah. Kalo begini caranya, sama aja dengan Presiden Mulyono tiga periode. Lanjuuuut!” teriaknya sambil ngeloyor ke luar warung dan lupa bayar pisang goreng dan kopinya. *


*Penulis adalah Sekretaris Satupena Lampung