/1/
Bisikan Bumi yang Menangis
I
Mengapa bumi kita begitu muram dan penuh keluh?
Langit biru, kini berselimut abu kelam,
Sungai-sungai yang dahulu gemerlap di bawah cerahnya pelangi
Kini surut, gelap, sarat jejak racun diam-diam.
Ladang hijau membentang, kini berlapis debu dan duka,
Tanah subur jadi retak, kering bagai tanah usang,
Bunga-bunga yang dulu ceria menyanyikan wangi,
Kini terinjak plastik, harum tergilas kenangan panjang.
Udara yang kita hirup sarat erangan pilu,
Mesin-mesin menderu, menggantikan nyanyian burung,
Awan yang berat menangis lirih dalam bisu,
Air mata jatuh, membawa beban nestapa yang tak tertanggung.
Namun bumi tetap bertahan, detaknya tak pernah berhenti,
Dia bermimpi kita sembuhkan lukanya,
kita pulihkan cintanya,
Kami mohon,
berpikirlah dewasa,
jangan tunda terlalu lama,
Kembalikan rumah ini, hadirkan sinar mentari pagi yang bercahaya.
Padang, Sumatera Barat, Indonesia, 2024
/2/
Bumi yang Merintih
I
Di altar senja, bumi tak lagi bernyanyi.
Langitnya, lembaran abu yang terkoyak,
menyembunyikan bintang dalam keranda pekat.
Sungai-sungai, seperti nadi teriris,
menguap aroma luka dalam arusnya yang kaku.
Bumi, sekarat di tepi cermin,
memantulkan bayangan manusia:
tangan penuh debu
menanam duri di ladang angin.
Pohon-pohon kini berdiri seperti saksi bisu,
membawa tangis dedaunan
yang dirampas akar-akar plastik.
II
Udara yang dulu lembut mencium pipi pagi,
kini meledak menjadi erangan mesin.
Awan-awan menggantung berat,
seperti doa yang tak pernah sampai,
luruh ke tanah menjadi tangis purba
yang bergema di hati yang bisu.
Namun, bumi tak pernah tidur.
Detaknya adalah mantra,
menggema di ruang-ruang gelap jiwa kita,
memanggil mimpi yang tertinggal
di lengkung pelangi yang terlupa.
III
Manusia,
adakah kau mendengar?
Di setiap retakan tanah,
ada kisah yang menunggu disentuh.
Di setiap daun gugur,
ada harapan yang ingin dilahirkan kembali.
Dunia bukan milikmu saja,
ia adalah milik semua,
antara cahaya dan bayang,
antara nafas dan debu,
antara kini dan yang belum.
Maka bangkitlah.
Kita adalah penjaga,
bukan perusak.
Kita adalah doa,
bukan dendam.
Kembalikan nyanyian bumi,
sebelum yang tersisa hanya gema sunyi
dalam kehampaan semesta.
Padang, Sumatera Barat, Indonesia, 2024
/3/
Ketika Bumi Berubah Menjadi Museum
I
Hutan kini sekadar ruang pajangan,
tulang-tulangnya tegak dalam kerangka rapuh.
Akar-akar membatu menjalar di balik kaca,
mencengkeram kehampaan yang tak bisa mereka selamatkan.
Daun-daun tergantung dalam jeda waktu,
uratnya mengabadikan kesedihan berteman sunyi.
Sungai-sungai berubah menjadi ilusi,
memancar di tanah yang merekah,
mengalir tanpa arah, tanpa akhir.
Kesunyian mereka lebih menusuk
daripada gemuruh paling nyaring.
Ikan hanyalah dongeng masa lalu,
sisiknya kini serpihan plastik,a
bersinar suram di bawah cahaya matahari palsu.
II
Langit—
tak lagi kanvas bintang dans badai—
menjadi mosaik kelabu,
dijahit oleh kabel, polusi, dan keputusasaan.
Burung-burung digantikan drone,
bayangan mereka melayang tanpa jiwa,
menjadi satu-satunya gerak di atas dunia yang mati.
Lautan terkunci dalam kubah kaca,
birunya hanya tinggal ilusi.
Di kedalaman yang terbungkam,
karang berdiri seperti monumen hantu,e
pecahan kerang berbaris
seperti sejarah yang dilupakan.
Ombak datang dan pergis
hanya sebagai rekaman tua,
mengulang duka di garis pantai yang kaku.
Kita melangkah di museum ini,
berjalan di antara kenangan yang membeku.
Udara yang kita hirup tipis,
beraroma logam,
seolah dunia telah diawetkan.
III
“Di sini berbaring bumi,”
tertulis di plakat yang dingin.
Rumah yang telah menjadi artefak.
Nyanyian yang terhenti.
Buaian yang tak lagi bergoyang.
Dan di sudut terakhir,
sebuah cermin berdiri,
memantulkan wajahe manusia—
peninggalan terakhir yang hampa.
Apa jadinya ketika bumi berubah menjadi museum?
apakah kita masih bisa disebut manusia?
ketika membiarkan bumi terluka karena keserakahan kita?
tidak! sekali lagi tidak!
kita tidak akan biarkan itu terjadi,
kita cintai dan rawat bersama bumi ini.
Padang, Sumbar, 2024
*Tentang Penulis;
---------------------------
Puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina hanya sebagai hobi dan koleksi puisi pribadi awal tahun 2024. Puisi tersebut direvisi kembali, diterjemahkan, serta dipublikasikan pertama kalinya melalui media digital menjelang akhir tahun 2024.
Leni Marlina merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat. Ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair & Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Selain itu, Leni terlibat dalam Victoria's Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.2
Leni juga mendirikan dan memimpin sejumlah komunitas digital yang berfokus pada sastra, pendidikan, dan sosial, di antaranya:, (1) Komunitas Sastra Anak Dunia (WCLC): https://rb.gy/5c1b02, (2) Komunitas Internasional POETRY-PEN; (3) Komunitas PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat): https://shorturl.at/2eTSB & https://shorturl.at/tHjRI;
(4) Komunitas Starcom Indonesia (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia): https://rb.gy/5c1b02; Litterature Talk Community.
5 hrs ago
2.30K
132
Saya menyukai baris: "Kembalikan rumah ini, hadirkan sinar mentari pagi yang bercahaya," karena menyampaikan harapan dan ajakan untuk pembaruan.
Ide bisnis: Memulai usaha pengelolaan limbah berkelanjutan yang berfokus pada daur ulang plastik dan menciptakan produk ramah lingkungan, berkontribusi pada pemulihan lingkungan seperti yang diimpikan dalam puisi tersebut.