Rabu, 08 Oct 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Suci, Kesucian dan (yang) Disucikan
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
Penulis: Wayan Suyadnya
Style - 07 Oct 2025 - Views: 11
image empty
Ilustrasi Kesucian

Tiba-tiba dunia maya geger. Seorang yang menyebut dirinya rsi—orang suci, pendeta Hindu, sulinggih—berkoar di media sosial, meminta bantuan beras. Katanya, bila tak diberi, ia akan membabat Ida Bhatara, Ida Hyang Widhi. Dunia pun terbelalak, antara tak percaya dan ingin marah. Tapi, saya tidak akan menyoal itu. Jika benar ia seorang rsi, seorang sulinggih, maka itu urusan nabe-nya, guru spiritual yang telah menapak—menjadikannya sulinggih. Apakah tindakan itu benar atau salah, sepenuhnya menjadi urusan dan kewenangan sang nabe.

Saya hanya seorang walaka—umat biasa. Tak pantas bagi walaka menilai sulinggih. Karena dalam tatanan agama Bali, ada batas antara suci, kesucian dan yang disucikan.

Saya ingin menyoal posisi saya sendiri. Sebagai walaka, saya butuh sulinggih bukan karena kepintarannya, tapi karena kesuciannya.

Dalam kehidupan spiritual Hindu, yang paling utama dari seorang sulinggih bukanlah ilmu kata-kata, bukan ijazah, bukan petuah atau ceramah yang berapi-api, melainkan suci. Iya yang merage suci. Karena hanya yang suci yang mampu menjadi penghubung antara manusia dan Tuhannya. Dalam setiap persembahyangan Hindu misalnya, yang merage suci itulah yang nuwur Ida Bhatara—mengundang kehadiran Tuhan. Tidak boleh sembarang orang melakukan itu, kecuali untuk persembahyangan pribadi. Dalam agama Bali yang saya pahami, hanya orang suci yang bisa nguningayang acara lan bebantenan, memberi tahu dan menuntun prosesi persembahan.

Orang pintar belum tentu suci, apalagi mereka yang masih kotor pasti tidak akan mampu melakukannya. Sulinggih itu penyambung. Ia bukan orator, bukan motivator, apalagi bintang media sosial.

Ia adalah jembatan sunyi antara manusia dan semesta. Karena itu, kesucian adalah napas hidupnya. Ia menjalani mati rage—mematikan raganya. Raga itu ego, nafsu, keinginan duniawi. Setelah menjadi sulinggih, hidupnya dibatasi: makan dipilih, bicara dijaga, tak boleh memberi jika tak diminta, tak boleh tamasya, dan ke mana pun pergi harus berbusana kasulinggihan. Bahkan langkahnya dituntun tongkat, agar setiap tapak tak tersesat dalam duniawi.

Kesucian itu dijaga bukan hanya olehnya, tapi juga oleh umat. Karena umatlah yang membutuhkan kesucian itu. Maka dalam setiap pidato, nama orang suci disebut pertama, “Yang kami sucikan, ida yang telah meraga suci,” baru kemudian nama lain disebut. Saking hormatnya umat, air cucian kakinya pun dianggap bertuah. Namun, di sinilah paradoksnya. Zaman berubah, kesucian kini diuji oleh sorot kamera. Banyak umat lebih terpukau pada sulinggih yang pandai bicara di layar, yang fasih ber-Instagram, yang mampu berdebat dengan dalil-dalil shastra. Banyak yang mencari sulinggih pintar, bukan sulinggih suci. Padahal, semakin banyak bicara, semakin mudah terkotori. Yakinkah semua orasinya itu bersih? Semakin tampil di depan, semakin terancam kesuciannya.

Dunia paradoks kini telah menimpa bahkan para penjaga kesucian. Saat seorang rsi berteriak minta beras, mungkin bukan soal lapar perut, tapi lapar makna. Lapar penghormatan, lapar perhatian, lapar pada dunia yang telah lupa membedakan antara suci dan pintar. Di titik itulah, saya sebagai walaka hanya bisa berdoa, semoga sulinggih kita kembali suci dan kita semua wajib menjaga kesucian itu.

Denpasar, 7 Oktober 2025