Rabu, 08 Oct 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Guru Honorer Ibu Lia: Lentera Kecil dari Kiupukan, Mengajar dengan Hati
Kisah Guru Perbatasan
Penulis: Remigius Ua
Peristiwa - 07 Oct 2025 - Views: 660
image empty
Istimewa
Ibu Pascalia Naihely

LIDAHRAKYAT.COM- Tanggal 1 Oktober 2025 menjadi hari yang tak biasa bagi saya. Pagi itu, saya hadir di SDK Kiupukan 2, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara, bukan sebagai guru, tetapi sebagai orang tua siswa yang diundang untuk mendukung kegiatan Visitasi Akreditasi dari BAN-PDM.

Udara pagi Kiupukan terasa sejuk. Jalan setapak menuju sekolah tampak lengang, hanya suara tawa anak-anak yang memecah sunyi. Dari kejauhan, saya melihat sosok perempuan sederhana dengan senyum tulus dan tatapan lembut menyambut murid-muridnya satu per satu di depan kelas. Dialah Ibu Pascalia Naihely, atau yang akrab disapa Ibu Lia.

Mengajar dengan Kasih, Bukan Karena Gaji

Ibu Lia adalah guru honorer di SDK Kiupukan 2. Sudah 3 tahun  5 bulan ia mengabdi di sekolah kecil di perbatasan ini. Ia mengajar dengan sepenuh hati, meski penghasilannya jauh dari cukup. Namun, dari cara ia berbicara dan berinteraksi dengan anak-anak, saya menangkap sesuatu yang lebih besar daripada angka di slip gajinya: panggilan jiwa seorang pendidik sejati. Ia tidak hanya mengajarkan murid-muridnya membaca dan berhitung, tetapi juga menanamkan nilai-nilai karakter dan budi pekerti.

Anak-anak memanggilnya dengan sebutan “Ibu Guru Lia” — seolah ia bukan hanya guru, tetapi juga sahabat dan ibu di sekolah.

“Saya Masuk ke Dunia Bermain Mereka”

Di sela kegiatan visitasi, saya sempat berbincang santai dengannya. Saya bertanya,

“Apa yang membuat Ibu tetap bertahan di sekolah kecil ini, meski dengan segala keterbatasan?”

Ibu Lia terdiam sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi senyumnya tetap tulus.

 “Yang membuat saya senang menjadi guru SD adalah saya bisa mengenal berbagai karakter anak dengan usia mereka yang masih sangat kecil,” katanya perlahan.

“Dari situ saya belajar bagaimana membentuk karakter mereka sejak dini, dengan memahami arah kemauan mereka. Saya masuk ke dunia bermain mereka terlebih dahulu, lalu perlahan saya tarik mereka ke dunia berpikir saya. Dengan memahami karakter anak, saya bisa lebih mengerti sisi sosial-emosional mereka.

Kata-kata itu sederhana, tetapi sarat makna. Ia mengajar bukan hanya dari buku, tetapi dari kedalaman hati dan empati seorang ibu.

Sahabat Bagi Anak-Anak

Rasa ingin tahu saya semakin besar. Saya pun iseng bertanya kepada salah satu siswa yang baru saja bersalaman dengan Ibu Lia.

"Anak, kenapa kamu terlihat sangat santai datang ke Ibu Lia dan begitu akrab dengannya?"

Anak itu tersenyum malu, lalu menjawab dengan nada sedikit canggung,

 “Ibu Lia itu kami punya teman belajar. Ibu Lia itu kami punya guru yang sudah seperti teman, jadi kami tidak takut bertanya kepada Ibu Lia.”

Jawaban polos itu membuat saya terharu. Dalam kesederhanaannya, hubungan yang terjalin antara guru dan murid di sekolah ini begitu hangat, tanpa jarak. Ibu Lia telah berhasil menjembatani dunia anak-anak dengan dunia orang dewasa — lewat cinta, bukan kuasa.

Ibu Guru Lia Berfoto bersama anak -anak di kelas

Ketulusan yang Terlihat

Hal senada disampaikan oleh Ibu Kepala Sekolah, Bernadetha Usafanu, yang saya temui di sela kegiatan visitasi. Dengan senyum bangga ia berkata,

 “Di sekolah ini, saya tidak pernah membedakan antara guru honor dan ASN dalam perlakuan. Karena saya melihat ada ketulusan hati untuk mengabdi dari guru honorer, salah satunya adalah Ibu Lia.”

Ucapan itu bukan basa-basi. Saya melihat sendiri bagaimana Ibu Lia bekerja dengan semangat yang sama seperti rekan-rekan ASN-nya — bahkan mungkin lebih besar, karena ia bekerja dengan cinta yang tulus tanpa banyak menuntut.

Tetap Setia di Tanah Pengabdian

Beberapa teman guru honorer di sekitarnya memilih untuk pindah ke sekolah negeri agar peluang menjadi PPPK lebih terbuka. Namun, bagi Ibu Lia, SDK Kiupukan 2 bukan sekadar tempat kerja — melainkan tempat menemukan kebahagiaan sejati.

Ia mengaku bahwa di sekolah ini, ia bertemu dengan sosok-sosok luar biasa yang saling mendukung, saling belajar, dan saling menguatkan.

“Saya merasa sekolah ini sudah seperti keluarga. Saya bahagia berada di sini,” katanya dengan senyum lembut.

Dukungan komunitas sekolah membuatnya semakin yakin bahwa pengabdian yang tulus pasti membuahkan hasil. Beberapa bulan lalu, Ibu Lia bahkan terpanggil untuk mengikuti PPG (Pendidikan Profesi Guru) — langkah besar dalam perjalanan kariernya sebagai pendidik profesional.

Harapan dan Doa Seorang Guru Sederhana

Di akhir percakapan, Ibu Lia menyampaikan harapan yang sangat manusiawi, “Saya berharap suatu hari nanti bisa diangkat menjadi ASN. Saya datang dari latar belakang keluarga sederhana, keluarga petani. Orang tua saya pernah berpesan, ‘Kami sudah kasi kuliah kamu dari hasil usaha yang tidak mudah, jadi kalau sudah bekerja, bekerjalah dengan hati sambil berdoa, Tuhan akan mendengarkan doa-doamu.’”

Kalimat itu membuat saya terdiam. Saya melihat mata yang jernih, penuh keyakinan, dan hati yang kuat di balik kesederhanaan seorang guru honorer dari pelosok Kiupukan ini.

Pelita dari Perbatasan

SDK Kiupukan 2 bukan sekolah besar dengan fasilitas lengkap. Dindingnya sederhana, ruang kelasnya terbatas, dan sebagian perlengkapan belajar berasal dari swadaya. Namun, di balik kesederhanaan itu tumbuh semangat besar — semangat anak-anak yang ingin belajar, dan semangat para guru yang tidak menyerah pada keadaan.

Pertemuan dengan Ibu Lia membuat saya merenung panjang. Dalam hati saya berkata,

“Guru seperti ini yang harus diperhatikan. Semoga ke depan ada yang peduli.”

Ya, di tengah dunia yang semakin sibuk dengan hiruk pikuk pencapaian, masih ada sosok-sosok seperti Ibu Pascalia Naihely, yang terus menyalakan cahaya dari tempat paling jauh, demi masa depan anak-anak bangsa. Ia adalah pelita kecil dari perbatasan, menerangi masa depan dengan kasih, ketulusan, dan iman yang tak pernah padam.

 

*Remigius Ua, Guru dan Penulis Artikel di Wilayah Perbatasan, Nusa Tenggara Timur