Zaman terus berubah. Teknologi berkembang pesat, menghadirkan tantangan dan peluang baru di berbagai bidang kehidupan. Dalam dunia pendidikan, tuntutan terhadap siswa pun semakin kompleks. Tak cukup hanya menguasai materi, siswa kini dituntut untuk mampu berpikir kritis, kreatif, dan menyelesaikan masalah secara mandiri.
Kemampuan memecahkan masalah kini bukan lagi keterampilan tambahan, melainkan kebutuhan dasar. Di tengah derasnya arus perubahan global, generasi muda harus dibekali dengan kemampuan berpikir adaptif agar mampu bersaing.
Matematika, sebagai pelajaran yang kerap dianggap sulit, justru menawarkan ruang untuk mengasah kemampuan tersebut, karena matematika menantang siswa untuk menganalisis, merencanakan, dan menemukan solusi dari berbagai persoalan, baik nyata maupun abstrak. Namun dalam prosesnya, siswa sering kali menemui jalan terjal: soal yang rumit, perhitungan yang menyesatkan, bahkan kegagalan berulang. Di sinilah resiliensi memainkan peran penting: sebagai kekuatan mental yang membantu siswa bertahan, bangkit, dan terus mencoba.
Apa Itu Resiliensi Matematika?
Resiliensi dalam matematika merujuk pada ketangguhan siswa menghadapi kesulitan dalam belajar matematika. Siswa yang resilien tidak mudah menyerah, tidak takut salah, dan tidak berhenti mencoba hanya karena gagal menjawab satu soal. Mereka memandang kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Mereka percaya bahwa kemampuan bisa ditingkatkan dengan latihan dan strategi yang tepat.
Dalam konteks ini, pemecahan masalah matematika bukan sekadar urusan rumus atau hafalan, melainkan latihan berpikir kritis dan ketekunan mental. Ketika siswa menghadapi soal yang tidak langsung bisa dipecahkan, resiliensi menjadi pembeda utama antara mereka yang terus berusaha dan mereka yang memilih menyerah.
Pembaca tentu mengenal sosok George Polya, seorang matematikawan berkebangsaan Hungaria-Amerika Serikat. Dalam bukunya "How to Solve It" (1945), Polya telah merumuskan strategi pemecahan masalah yang hingga kini masih digunakan: memahami masalah, menyusun rencana, melaksanakan rencana, dan meninjau kembali solusi. Keempat tahapan ini bukan hanya langkah teknis, tapi juga menguji ketangguhan mental siswa.
Dalam praktiknya, siswa resilien tetap mencoba meskipun soal sulit dipahami. Mereka berani mencoba berbagai pendekatan saat menyusun rencana, tidak putus asa meski perhitungan mereka salah. Mereka juga bersedia mengevaluasi dan memperbaiki kesalahan.
Hasil Penelitian: Resiliensi Berpengaruh Nyata?
Pada tahun 2023, penulis bersama tim dosen dan mahasiswa melakukan penelitian di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Timor Tengah Utara. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh resiliensi matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara resiliensi dan kemampuan pemecahan masalah siswa (Olo, Son & Klau, 2023).
Penelitian lain oleh Sirri, Fazriansyah & Faturohman (2024) di level Sekolah Menengah Atas (SMA) juga mengidentifikasi bahwa siswa dengan resiliensi tinggi memiliki kemampuan untuk mengatasi hambatan dalam belajar matematika. Sebelumnya, penelitian oleh Rahmatiya & Miatun (2020) telah menegaskan bahwa resiliensi erat kaitannya dengan peningkatan performa matematika, terutama dalam menyelesaikan soal-soal yang menantang.
Siswa dengan resiliensi tinggi lebih mampu mengelola tekanan, berpikir jernih dalam situasi sulit, serta memiliki motivasi intrinsik yang tinggi. Sebaliknya, siswa dengan resiliensi rendah cenderung mengalami math anxiety, cepat putus asa, dan lebih suka menghindari tantangan daripada menghadapinya.
Peran Guru: Menumbuhkan Resiliensi dalam Kelas
Menjadi jelas bahwa resiliensi bukan sekadar bawaan lahir, tetapi sesuatu yang dapat dibentuk. Dan di sinilah peran guru dan lingkungan belajar menjadi sangat penting.
Beberapa strategi yang bisa diterapkan di kelas, antara lain mendorong mindset bertumbuh (growth mindset) bahwa kemampuan matematika bisa diasah dengan latihan, serta memberikan dukungan emosional dan kognitif saat siswa kesulitan. Selain itu, guru menyediakan tantangan yang sesuai dengan kemampuan siswa, dan memberi umpan balik positif, serta membiasakan refleksi: mengajak siswa meninjau kembali proses berpikir mereka setelah menyelesaikan soal.
Catatan Akhir: Resiliensi, Kunci Pemecahan Masalah
Di balik deretan angka dan rumus, pembelajaran matematika sejatinya adalah latihan mental dan karakter. Resiliensi bukan pelengkap, melainkan fondasi penting bagi siswa agar mampu menjadi pemecah masalah yang tangguh, percaya diri, dan siap menghadapi tantangan yang lebih besar. Karena itu, membangun resiliensi harus menjadi bagian dari strategi utama dalam pembelajaran matematika di setiap jenjang pendidikan. ***
*Penulis Adalah Aktivis Pendidikan Di Perbatasan NKRI -RDTL dan Juga Dosen FKIP Pendidikan Matematika Universitas Timor
15 hrs ago
2.61K
141