Oleh : Remigius Ua, S.Pd
Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila—sebuah momen yang tak sekadar mengingat tanggal, tetapi menandai lahirnya satu fondasi luhur yang menjadi dasar berdirinya Republik ini. Dalam suasana upacara, pidato, dan baliho peringatan yang tersebar di ruang-ruang publik, kita sering mendengar kata-kata agung tentang persatuan, keadilan, dan kemanusiaan. Namun, di balik semua perayaan itu, ada bisik pelan dari pelosok-pelosok negeri yang sering tak terdengar: disitulah Pancasila berada dalam hidup kami sehari-hari?
Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pidatonya yang monumental. Ia menawarkan lima prinsip dasar negara yang lahir dari pergulatan sejarah, kebudayaan, dan realitas kebangsaan Indonesia yang majemuk. Lima prinsip itu kemudian dikenal dengan nama Pancasila. Bukan hasil meniru bangsa lain, bukan pula hasil karangan satu malam. Pancasila adalah buah dari perenungan mendalam dan ikhtiar untuk merumuskan jati diri Indonesia yang ber-Bhinneka namun tetap satu, yang bebas namun tetap beradab, yang besar namun tetap merangkul yang kecil.
Namun, delapan dekade setelahnya, ketika kita menyebut Pancasila dalam berbagai forum, apakah kita sudah benar-benar menghayatinya?
Coba kita dengar tanya dari jalanan berlubang di perbatasan dan pedalaman. Di sana, setiap musim hujan menghadirkan banjir dan lumpur. Anak-anak sekolah harus mengangkat sepatu dan menggulung celana saat melintasi sungai kecil yang tak pernah dijembatani. Beberapa sekolah di daerah terpencil masih berdinding kayu lapuk, berlantai tanah, dan beratap jerami. Sementara di layar kaca, kita melihat gedung-gedung megah dan jalan tol membentang lurus di kota-kota besar.
Di ladang-ladang yang jauh dari pusat kekuasaan, para petani bangun sebelum matahari dan pulang ketika senja, tapi harga hasil panen ditentukan tengkulak yang kuat modal. Mereka tetap mencangkul tanah, berharap musim tak menipu, dan berharap negara mendengarkan, bukan hanya mencatat statistik.
Di sudut-sudut desa, ibu-ibu memberikan layanan kesehatan dengan penuh sabar, terkadang pulang dengan kecewa karena tenaga medis tak datang. Di pegunungan dan pulau-pulau kecil, sinyal telepon seperti harta karun: sulit ditemukan, tapi sangat dibutuhkan. Anak-anak mengangkat telepon ke ujung bambu, mencari satu batang sinyal demi bisa belajar berani atau sekadar mengabari keluarga.
Lalu, di manakah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia? Bukan sekedar kata penutup sila kelima, tapi inti dari seluruh Pancasila.
Pernahkah Persatuan Indonesia saat suara-suara dari pinggiran jarang mendapat ruang dalam diskusi besar kebangsaan?
Di mana Kemanusiaan yang Adil dan Beradab saat masih ada saudara sebangsa yang hidup tanpa air bersih, tanpa listrik yang stabil, tanpa pelayanan dasar yang seharusnya dijamin negara?
Pancasila tidak salah. Ia tetap agung. Yang perlu kita tanyakan adalah: sudahkah kita semua sebagai bagian dari negara—termasuk aparatur, pejabat, pendidik, dan warga—menjadi penjaga dan penggerak nilai-nilainya?
Peringatan Hari Lahir Pancasila bukan hanya soal seremoni. Ia adalah momen perenungan kolektif, bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk masyarakat. Ia mengajak kita bertanya-tanya, sejauh mana kita masih menjadikan Pancasila sebagai cermin dalam mengambil keputusan, dalam menyusun anggaran, dalam merancang kebijakan, dalam berpikir terhadap sesama, dan dalam memandang yang lemah.
Pancasila seharusnya tidak tinggal di baliho. Ia harus hadir di jalan desa yang layak, di sekolah yang nyaman, di harga yang adil untuk hasil pertanian, dan di tangan yang mau melayani dengan hati.
Pancasila, bila hidup dalam kesekharian, akan terasa di senyum anak-anak pelosok yang bersekolah dengan semangat. Ia akan terasa di tubuh petani yang pulang membawa hasil panen dan senyum, bukan kesedihan. Ia akan merasakan di hati warga yang merasa dilindungi dan diurus oleh negaranya, bukan sekedar ditagih kewajiban tanpa mendapatkan hak.
Maka, biarlah Pancasila kembali kita hayati dalam wujud paling sederhana: menjadi manusia yang mau mendengar, mau hadir, dan mau berbagi. Karena sejatinya, Pancasila bukan milik masa lalu, tetapi kompas moral hari ini dan masa depan.
15 hrs ago
2.61K
141