Kota Padang, sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Barat, memiliki potensi besar untuk mengembangkan ruang publik yang ramah anak sekaligus berwawasan ekologis. Taman bermain bukan sekadar tempat rekreasi, tetapi juga wahana edukasi, interaksi sosial, dan pembentukan karakter anak sejak dini. Dalam konteks perkotaan yang kian padat, keberadaan taman yang sehat, aman, dan hijau menjadi kebutuhan mendesak. Sayangnya, tata kelola taman bermain ramah anak berbasis ekologis di Kota Padang masih terkesan kurang diperhatikan oleh Pemerintah Kota.
Dalam perspektif pembangunan berbasis hak anak, Indonesia sebenarnya telah memiliki Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) yang digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri PPPA Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan KLA, yang mencakup penguatan kelembagaan serta lima klaster hak anak: (1) Hak Sipil dan Kebebasan, (2) Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, (3) Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, (4) Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya, serta (5) Perlindungan Khusus (KemenPPPA, 2022; PPID Kemendagri, 2020). Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan kondusif bagi tumbuh kembang anak, sekaligus mengintegrasikan komitmen pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam pemenuhan hak anak (Paramita, 2022). Selain itu, Pemerintah Kota Padang sebenarnya telah memiliki regulasi terkait ruang publik, salah satunya melalui Keputusan Walikota No. 123 Tahun 2015 tentang Ruang Terbuka Hijau Taman Kota, Jalur Hijau, dan Pemakaman Umum (JDIH Kota Padang, 2015). Regulasi ini menjadi dasar hukum penyediaan dan pengelolaan ruang terbuka hijau di Kota Padang. Namun, jika dikaitkan dengan kebijakan ini, tata kelola taman di Kota Padang masih menghadapi berbagai tantangan. Pertama, dari aspek perencanaan dan desain, taman bermain di kota Padang sebagian besar belum mengintegrasikan prinsip ramah anak dan keberlanjutan lingkungan. Banyak taman yang hanya difungsikan sebagai ruang terbuka hijau minimalis tanpa fasilitas bermain yang memadai. Desainnya seringkali tidak memperhatikan aspek keamanan, kenyamanan, maupun kreativitas anak. Padahal, menurut konsep Child Friendly Cities yang digaungkan UNICEF (2018), setiap kota semestinya memastikan bahwa anak memiliki ruang yang layak untuk tumbuh, berekspresi, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kedua, dari aspek ekologis, taman bermain di Kota Padang masih minim pemanfaatan unsur alam sebagai bagian integral dari sarana bermain. Misalnya, penggunaan material ramah lingkungan, integrasi pepohonan rindang sebagai pelindung alami dari panas, atau pemanfaatan unsur air sebagai sarana edukasi ekologi. Banyak taman justru lebih mengedepankan fasilitas buatan berbahan plastik dan besi, yang dalam jangka panjang tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan (Semeraro, et al., 2021) Hal ini menunjukkan lemahnya visi ekologis dalam tata kelola ruang publik.
Ketiga, dari aspek tata kelola dan pemeliharaan, masalah serius yang sering muncul adalah kurangnya perhatian pada perawatan rutin. Fasilitas bermain anak kerap kali rusak tanpa segera diperbaiki, rumput dan tanaman kurang terurus, bahkan kebersihan sering terabaikan. Kondisi ini tidak hanya mengurangi kenyamanan, tetapi juga berpotensi membahayakan anak. Padahal, taman yang terawat dengan baik bisa menjadi ruang edukatif sekaligus rekreatif yang menunjang kesehatan fisik, emosional, dan sosial anak (Putri, 2023). Keempat, dari aspek partisipasi masyarakat, keterlibatan publik dalam perencanaan dan pengelolaan taman masih rendah. Pemkot Padang cenderung menganggap pembangunan taman sebagai proyek fisik semata, tanpa membuka ruang dialog dengan warga, komunitas, maupun kelompok pemerhati anak dan lingkungan. Padahal, kolaborasi dengan masyarakat dapat memperkaya gagasan desain taman, meningkatkan rasa memiliki, dan memastikan keberlanjutan pengelolaan. Di sisi lain, dalam penelitian Pahlawan Borotan Iqbal (2017) juga menunjukkan bahwa penyediaan taman kota di Kota Padang lebih banyak memenuhi aspek ekologis dan estetika, tetapi masih kurang dalam pemenuhan fungsi sosial budaya. Dari hasil penelitiannya, terdapat 44 taman kota dengan luas total 70.495 m⊃2; yang memang sudah berfungsi secara ekologis, namun belum sepenuhnya menjadi ruang rekreasi, media komunikasi warga, maupun sarana ekspresi budaya lokal. Bahkan, kendala yang dihadapi Pemkot Padang dalam penyediaan taman kota antara lain adalah lemahnya aspek yuridis—tidak adanya sanksi bagi masyarakat yang merusak taman—serta kendala non-yuridis berupa minimnya partisipasi masyarakat dan kurangnya data pemanfaatan taman di tingkat kelurahan dan kecamatan.
Kurangnya perhatian Pemkot Padang terhadap tata kelola taman ramah anak berbasis ekologis ini mencerminkan belum terintegrasinya isu anak dan lingkungan dalam kebijakan pembangunan kota. Jika hal ini terus diabaikan, generasi muda akan kehilangan ruang bermain yang sehat, sementara lingkungan kota semakin jauh dari prinsip berkelanjutan.
Untuk itu, penulis mengajukan beberapa rekomendasi yang barangkali bisa dipertimbangkan oleh Pemkot Padang:
Pertama, integrasi kebijakan ramah anak dan ekologis dalam setiap pembangunan taman kota. Pemerintah Kota Padang perlu memasukkan indikator ramah anak dan berwawasan ekologis dalam rencana pembangunan ruang publik. Artinya, setiap proyek pembangunan atau revitalisasi taman harus melewati kajian dampak terhadap anak dan lingkungan. Misalnya, standar keamanan permainan anak, aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus, serta kelengkapan fasilitas dasar seperti toilet bersih, area menyusui, dan jalur difabel. Dari sisi ekologi, kebijakan harus mengatur penggunaan ruang hijau minimal, pengelolaan sampah berbasis 3R (reduce, reuse, recycle), serta pemanfaatan energi terbarukan. Tanpa integrasi kebijakan ini, taman hanya akan menjadi proyek fisik yang tidak memiliki nilai keberlanjutan.
Kedua, desain berbasis alam dengan memanfaatkan elemen hijau, air, dan material ramah lingkungan. Taman ramah anak berbasis ekologis tidak hanya berfungsi sebagai ruang bermain, tetapi juga sarana edukasi lingkungan. Oleh karena itu, desain harus mengedepankan pemanfaatan unsur alam. Pepohonan rindang dapat menjadi naungan alami, area pasir dan tanah bisa dijadikan arena eksplorasi, sementara kolam kecil atau taman air dapat digunakan untuk mengenalkan ekosistem. Penggunaan material ramah lingkungan seperti kayu daur ulang atau bambu lebih baik dibandingkan plastik dan besi yang cenderung berbahaya dan tidak ramah lingkungan. Dengan pendekatan ini, anak-anak dapat berinteraksi langsung dengan alam, membentuk kesadaran ekologis sejak dini.
Ketiga, pemeliharaan rutin yang melibatkan masyarakat lokal melalui program “adopsi taman”. Salah satu masalah terbesar dalam tata kelola taman di Kota Padang adalah kurangnya perawatan setelah pembangunan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu menggagas program “adopsi taman” di mana masyarakat, komunitas, atau sekolah terlibat langsung dalam pemeliharaan. Dengan cara ini, taman tidak hanya bergantung pada anggaran APBD, tetapi juga memiliki dukungan sosial dari warga sekitar. Pemeliharaan bisa berupa kerja bakti rutin, penanaman pohon bersama, atau kegiatan edukasi lingkungan. Model kolaboratif ini akan meningkatkan rasa memiliki masyarakat sekaligus memastikan keberlanjutan fungsi taman.
Keempat, pendidikan ekologi yang diintegrasikan dalam fasilitas taman. Taman bukan hanya tempat rekreasi, tetapi juga ruang belajar terbuka. Oleh karena itu, Pemkot Padang dapat mengintegrasikan program pendidikan ekologi ke dalam fasilitas taman. Misalnya, memasang papan informasi tentang jenis pohon dan manfaatnya, menyediakan sudut edukasi tentang pengelolaan sampah, atau menghadirkan permainan interaktif yang mengajarkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Taman dapat menjadi laboratorium alam bagi anak-anak sekolah, di mana mereka belajar langsung tentang keanekaragaman hayati, siklus air, atau pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Dengan demikian, taman benar-benar menjadi ruang bermain yang mendidik.
Kelima, kolaborasi lintas sektor antara Pemkot, komunitas, sekolah, dan dunia usaha. Pembangunan dan pengelolaan taman ramah anak berbasis ekologis memerlukan dukungan berbagai pihak. Pemkot Padang tidak hanya bekerja sendiri; perlu ada kemitraan dengan komunitas lokal, akademisi, sekolah, dan dunia usaha. Misalnya, dunia usaha bisa berkontribusi melalui program CSR (Corporate Social Responsibility), sekolah dapat menjadikan taman sebagai laboratorium pembelajaran, sementara komunitas lingkungan bisa memberikan pendampingan. Kolaborasi lintas sektor ini akan memperkuat aspek pembiayaan, inovasi desain, sekaligus meningkatkan pemanfaatan taman sebagai ruang publik yang berfungsi maksimal
Jika semua rekomendasi ini dijalankan secara konsisten, Kota Padang dapat menghadirkan taman bermain yang bukan hanya sekadar ruang rekreasi, tetapi juga ruang hidup yang sehat, mendidik, inklusif, dan berkelanjutan. Hal ini juga akan menunjukkan komitmen Pemkot Padang dalam membangun kota yang ramah anak sekaligus peduli terhadap masa depan ekologisnya.
Daftar Bacaan:
Iqbal, Pahlawan Borotan. “Penyediaan Taman Kota oleh Pemerintah Kota Padang”. Skripsi. Universitas Andalas. 2017. http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/25337JDIH Kota Padang. “Keputusan Walikota No. 123 Tahun 2015 Tentang Ruang Terbuka Hijau Taman Kota, Jalur Hijau dan Pemakaman Umum”. https://jdih.padang.go.id/peraturan/ruang-terbuka-hijau-taman-kota-jalur-hijau-dan-pemakaman-umum-3485
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. “PERMEN PPPA NO. 12, BN 2022/NO. 1355 TENTANG PENYELENGGARAAN KABUPATEN/KOTA LAYAK ANAK”. https://jdih.kemenpppa.go.id/storage/948/Abs.Permen-PPPA-No-12-Thn-2022.pdf
Paramita, Mahditia. Ruang Kota Layak Anak: Mewujudkan Visi Indonesia Maju. Yogyakarta: Caritra. 2022.
PPID Kemendagri. “Peraturan, Keputusan, dan/atau Kebijakan yang dikeluarkan Tentang Kota Layak Anak Tahun 2020”. Kerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. https:/
ppid.kemendagri.go.id/front/dokumen/detail/300071703
Putri, Astereizha Hani Dania. “Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Strategi Kota Sehat pada Kawasan Perkotaan di Indonesia”.
RUSTIC: Jurnal Arsitektur. Vol. 3, No 1 (2023), Pages. 28-45. https://doi.org/10.32546/rustic.v3i1.1894
Semeraro, Teodoro, Aurelia Scarano, Riccardo Buccolieri, Angelo Santino, Eeva Aarrevaara. “Planning of Urban Green Spaces: An Ecological Perspective on Human Benefits”. Land. Vol. 10, No. 2 (2021). Pages. 105. https://doi.org/10.3390/land10020105
UNICEF. Shaping Urbanization for Children: A Handbook on Child-Responsive Urban Planning. New York: UNICEF. 2018.
*Mahasiswa Doktoral Filsafat Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
15 hrs ago
2.61K
141