Lagi ramai soal kedatangan Dr. Zakir Naik. Ia sudah di negeri kita, dimulai dari Kota Surakarta, Malang, Bandung, dan terakhir di Jakarta. Kedatangannya, ada yang menolak, dan tentu ada yang welcome. Tandanya, kopi sama hitam, tapi rasanya beda-beda. Tapi, dengan kopi pikiran tetap encer dan waras. Mari kita kupas kehadiran pria berasal dari negeri Shah Rukh Khan ini.
Namanya, Zakir Abdul Karim Naik. Ia bukan hanya pendakwah. Ia adalah orator lintas agama, dokter yang mencabut stethoscope lalu mengangkat mikrofon dakwah, dan menjadi bencana alam bagi argumen yang lemah logika. Lahir pada 18 Oktober 1965 di Mumbai, India, sebuah kota yang lebih dikenal dengan Bollywood. Zakir Naik adalah hasil tabrakan takdir antara pendidikan medis dan peradaban wahyu.
Ia dibesarkan dalam keluarga Konkani yang biasa saja, namun dalam tubuhnya berdetak ketidakterbiasaan. Tamat dari St. Peter’s High School, lalu melanjutkan ke Kishinchand Chellaram College. Kemudian, menjadi dokter dengan gelar MBBS dari University of Mumbai. Zakir bisa saja menjadi spesialis bedah yang memotong usus buntu. Tapi, jalan hidup berkata lain. Tahun 1991, ia melepas jas putihnya, dan mengenakan jas abu-abu yang lebih ditakuti banyak orang, jas logika.
Dari panggung ke panggung, dari auditorium India hingga stadion Malaysia, Zakir Naik menyebarkan Islam tidak dengan air mata atau mantra kebatinan, tapi dengan senjata paling tajam, akal. Ia terinspirasi dari Syaikh Ahmed Deedat, namun melampaui gurunya dengan kecepatan bicara yang hanya bisa dikejar oleh subtitle tercepat di YouTube. Dengan suara datar tapi tajam, ia mengutip Injil, Weda, Tripitaka, dan Bhagavad Gita dengan presisi.
Zakir tidak berdakwah, ia mengguncang sistem. Ketika Peace TV berdiri, ia tidak sedang membangun saluran dakwah, ia sedang membangun jaringan pembantaian intelektual. Siarannya menjangkau 100 juta lebih pemirsa global, dan dalam setiap sesi tanya jawab, ia menjawab bukan dengan dalil yang dipaksakan, tetapi dengan ayat dari kitab suci lawan diskusi. Ia seperti pejuang Shaolin tapi hafal ayat Al-Baqarah dan Injil Matius sekaligus. Semua yang merasa kuat dalam debat, luluh dalam tiga kalimat. Namun cahaya tajam tak pernah luput dari bayang-bayang. India, tanah kelahirannya, tidak tahan dengan sorotan yang ia pancarkan. Tuduhan demi tuduhan dilayangkan, bahwa ia menginspirasi radikalisasi, mencuci uang lebih dari 28 juta dolar, menyebarkan kebencian antaragama. Paspor dicabut, Peace TV dilarang, IRF dibubarkan. Ia pun menjadi buronan, bukan karena senjata, tapi karena ide. Tapi dunia tak seragam. Interpol menolak red notice-nya. Malaysia menampungnya, walau kemudian sempat juga membekukan ceramah publiknya.
Tahun 2025, Indonesia menyambutnya. Tapi negeri ini penuh ranjau toleransi. Format debat dihapus, agar tidak terjadi ledakan sosial. Zakir patuh. Tapi suaranya tetap menembus. Ribuan orang hadir. Zakir Naik bukan manusia biasa. Ia adalah algoritma keilmuan berwujud manusia. Ia bukan hanya penceramah. Ia adalah peluru waktu yang menembus tembok-tembok kebiasaan berpikir. Dalam sejarah dakwah modern, ia bukan catatan kaki. Ia adalah subjudul utama yang membuat banyak buku harus direvisi. Zakir Naik adalah pertanyaan itu sendiri, apakah manusia boleh terlalu cerdas dalam menjelaskan kebenaran? Atau apakah dunia memang lebih nyaman hidup dalam teka-teki? Yang jelas, dakwah bukan lagi sekadar ceramah Jumat. Bersama Zakir, ia telah naik level jadi debat kosmik. Umat manusia, siap tidak siap, harus duduk di bangku audiens, menunggu giliran ditanya balik.
“Abang sepertinya pro Zakir Naik, ni?”
Gini, Sebagai akademisi, kita ini bukan tim hore siapapun. Terbiasa membaca, menelaah, dan mencerna segala macam pemikiran orang. Dari paling rasional sampai yang absurd sekalipun. Kita diberikan akal, pikiran, dan kesabaran untuk memilah mana mutiara, mana sekam. Kalau Zakir Naik ada yang baik, ya kita catat. Kalau ada yang kelewat tajam, ya kita kritisi. Itu namanya sehat berfikir, bukan fanatik. (Rosadi Jamani)
15 hrs ago
2.61K
141