Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York Amerika Serikat bergemuruh pada Jumat (12/09/2025) pasca pemungutan suara soal Deklarasi New York demi mendukung penyelesaian damai Palestina-Israel menuju solusi dua negara. Meski sempat mati suri, gagasan ini kembali hidup setelah Arab Saudi dan Prancis menginisiasi hal itu untuk dibawa ke PBB sejak bulan Juli 2025 lalu.
Sidang Umum oleh 193 negara anggota PBB akhirnya menetapkan keputusan dengan 143 negara memberikan dukungan (in favor) untuk resolusi tersebut, 10 negara melawan (against), serta 12 negara memilih tidak menentukan pilihan (abstain). Poin penting dalam agenda ini antara lain mendukung penyelesaian konflik Palestina-Israel melalui solusi dua negara yang berdaulat dan sejajar, pembebasan tawanan oleh Hamas, dan menekankan bahwa ‘Hamas tidak ada dalam rencana masa depan’ Palestina merdeka. Israel tidak menerima keputusan tersebut. Duta Besar Israel. Danny Danon mengatakan bahwa “deklarasi sepihak ini tidak akan dikenang sebagai langkah menuju perdamaian, melainkan hanya sebagai isyarat kosong yang melemahkan kredibilitas majelis” (UN News, 12/09/25). Bagi Israel keputusan majelis PBB justru dianggap mendukung dan memberikan keuntungan bagi Hamas.
Hamas selalu menjadi topik perdebatan dalam penyelesaian konflik antara Palestina-Israel. Bila Palestina menerima resolusi New York yang digagas pada September ini, maka Hamas harus serta merata bubar, melucuti senjata, dan bersedia menarik diri dari perundingan di masa mendatang demi perdamaian antara dua negara. Hamas harus menghilang dari muka bumi selamanya. Pertanyaannya adalah, apakah Hamas mau memburbarkan organisasi? menarik diri dari soal-soal Palestina dan secara otomatis menyerahkan Gaza pada otoritas yang diakui oleh PBB sebagai perwakilan negara Palestina merdeka?! Hingga kini belum ada tanggapan resmi Hamas terkait hasil Deklarasi New York. Di sisi lain, Amerika masih melakukan Veto atas usulan Dewan Keamanan (DK) PBB soal gencatan senjata di Gaza hingga makin menambah penderitaan rakyat Gaza yang mengharapakan damai.
Melihat kondisi politik yang terjadi di Palestina hari ini juga tentang posisi Hamas dalam masa depan Palestina merdeka, mengingatkan kita tentang bagaimana perjuangan bangsa Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Masa itu ada sayap politik Indonesia yang bernama Persatuan Perjuangan (berikut disingkat ‘PP’) yang dibentuk Tan Malaka. Gabungan politik ini menghendaki agar Indonesia harus melawan Belanda dengan cara konfrontasi total dengan selogan perjuangan ‘merdeka 100%’.
Di awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pada 1 November 1945 yang menghendaki pengakuan Inggris dan Belanda terhadap Negara Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaanya. Inggris menyambut baik pernyataan tersebut dengan mendatangkan diplomatnya Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah konflik Indonesia-Belanda.
Pada Desember 1945 H.J. Van Mook mengeluarkan penyarataan bahwa masa depan Indonesia hanya dimungkinkan bila Indonesia siap dijadikan sebagai negera persemakmuran Belanda. Dengan itu masalah dalam negeri nantinya akan diurus oleh Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pihak Belanda. Bila Indonesia menerima syarat tersebut, nanti Indonesia akan dimasukan sebagai anggota PBB melalui prakarsa Belanda.
Awal tahun 1946 usai pernyataan Van Mook tersebut, gejolak politik dalam tubuh Indonesia mengalami goncangan dengan adanya oposisi dalam pemerintahan Kabinet Syahrir I (14 November 1945 – 12 Maret 1946) melalui tekanan organisasi PP yang tidak menghendaki jalur diplomasi. Bagi pemimpin organisasi ini, Tan Malaka, perundingan hanya bisa dilakukan bila Belanda mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat 100%. Sebuah hal yang mustahil bisa diterima oleh Belanda pada masa itu dan hanya dimungkinkan bila seluruh rakyat Indonesia siap melakukan konfrontasi total merdeka atau mati!.
Pada 12 Maret 1946, Syahrir menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno untuk pembubaran kabinet. Namun pada hari itu juga, Soekarno kembali menunjuk Syahrir sebagai formatur kabinet dengan tugas utama menyusun pernyataan balasan atas usulan Van Mook pada Desember 1945.
Kabinet baru yang dibentuk akhirnya memberikan pernyataan tegas kepada Belanda sebanyak 14 pasal di antaranya: Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda; akan dibentuknya federasi Indonesia-Belanda dan untuk urusan luar negeri Indonesia nantinya akan diserahkan kepada badan federasi yang baru dibentuk; serta meminta Belanda menghentikan semua aksi militer selama perundingan berlangsung.
Usulan Indonesia tetap ditolak oleh Van Mook yang menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia hanya perwakilan Jawa saja dalam pembentukan negara federal di lingkungan Kerajaan Belanda. Pernyataan ini menegaskan tentang usaha Van Mook yang hanya mau membentuk Negara Indonesia Serikat sebagai bagian dari Kerajaan Belanda di masa depan.
Pada 27 Maret 1946 Perdana Menteri Sutan Syahrir memberikan jawaban balasan dengan meminta Belanda mengakui secara de facto kedaulatan Republik Indonesia (RI) atas Jawa dan Sumatera; supaya RI dan Belanda bekerjasama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), dan bersama Belanda, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam suatu Kerajaan Belanda. Meski nampak ada titik temu dalam kelanjutan perundingan, Belanda menyatakan bahwa mereka hanya bersedia mengakui kedaulatan RI atas Jawa-Madura, bukan Jawa-Sumatera. Pada akhirnya perundingan Indonesia-Belanda (14-25 April 1946) mengalami kegagalan.
Sikap pemerintah Indonesia yang dianggap lemah dan selalu memilih jalur diplomasi Belanda-Indonesia membuat PP geram dan berharap agar pemerintah harus mengambil langkah tegas. Bagi Tan Malaka “cara berunding dengan maling di dalam rumah sendiri” adalah sebuah hal yang harusnya tidak boleh dipilih oleh Soekarno dan Hatta.
Pada masa Kabinet Syahrir II yang dibentuk sejak 12 Maret 1946, PP terus menjadi oposisi dan menolak diplomasi pemerintah dengan Belanda. Pada akhirnya sikap Tan Malaka dan organisasinya dicurigai yang berakhir pada penangkapan beberapa tokoh politik PP pada 17 Maret 1946. Tan Malaka, Sukarni, Abikusno Tjokrosujoso, Chairul Saleh, Moh. Yamin, dll, ditangkap akibat sikap mereka yang dianggap terang-terangan mengganggu usaha diplomasi pemerintah dengan Belanda untuk menghendaki perdamaian. Mungkin terlalu jauh menyamakan antara misi PP di masa awal kemerdekaan Indonesia dengan gerakan Hamas dalam perjuangan kemerdekaan Palestina. Tapi satu hal yang pasti, dua organisasi ini sama-sama tidak dikehendaki dalam cita-cita kemerdekaan ke dua bangsa yakni Indonesia di masa lalu dan Palestina hari ini.
PP tidak dikehendaki karena dianggap terlalu frontal dan keras dalam menuntut kemerdekaan Indonesia. Padahal hal seperti itu tidak dikehendaki oleh komunitas internasional yang suara dan sikap politiknya sangat dibutuhkan oleh Indonesia di PBB pada masa itu. Sama seperti Hamas yang juga tidak dikehendaki oleh dunia sebagaimana hasil Konferensi New York 12 September 2025 lalu yang mengeluarkan pernyataan tegas agar demi tercapainya Palestina merdeka maka Hamas harus dibubarkan karena langkah-langkah politiknya dianggap keras, kaku, dan tentu tidak disukai oleh Barat dan Israel.
Akankah cita-cita Palestina merdeka sesuai Konferensi PBB yang diinisiasi oleh Arab Saudi dan Prancis serta telah didukung oleh suara mayoritas dalam Majelis Umum PBB bisa terjadi? Solusi dua negara Palestina-Israel yang duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dan sejajar akan segera tercapai tanpa Hamas? Akankah Hamas yang berdiri pada 14 Desember 1978 akan dibubarkan dan menghilang dalam peta jalan perdamaian Israel-Palestina sebagaimana Persatuan Perjuangan hilang dalam panggung sejarah kemerdekaan Indonesia di masa lalu? Menarik menantikan ini semua.
*Penulis adalah Sejarawan, Peneliti Sejarah Lokal dan Sosial di Sulawesi Utara
15 hrs ago
2.61K
141