Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah kisah yang menggugah hati—kisah tentang seorang sarjana pendidikan yang harus menanggalkan idealismenya demi bertahan hidup. Ia adalah lulusan salah satu universitas negeri ternama, bergelar Sarjana Pendidikan dan bersertifikat sebagai guru profesional. Namun, gelar yang diperolehnya dengan susah payah selama empat tahun, lengkap dengan biaya puluhan juta, ternyata tidak mampu menjamin kesejahteraan hidupnya. Selama beberapa tahun ia mengajar di sebuah sekolah negeri sebagai guru honorer. Gajinya? Bahkan tidak menyentuh angka dua juta rupiah. Penghasilan yang jelas-jelas tidak masuk akal jika dibandingkan dengan tanggung jawab besar yang ia emban—mencerdaskan anak bangsa. Parahnya lagi, gaji tersebut belum cukup untuk menutupi biaya transportasi harian dari rumah ke sekolah. Ia mencoba bertahan, berpegang pada semangat mengabdi dan kecintaannya pada dunia pendidikan. Namun, kenyataan tak bisa ditawar.
Hingga suatu hari, ia melihat sebuah lowongan pekerjaan sebagai Asisten Rumah Tangga (ART). Gaji yang ditawarkan mencapai empat juta rupiah per bulan, sudah termasuk tempat tinggal dan makan gratis. Setelah menimbang berbagai aspek—bukan hanya logika, tetapi juga realita kebutuhan yang semakin mendesak—ia pun memutuskan untuk melamar. Ijazah dan sertifikat pendidik disimpan rapi, lalu ia memulai lembaran baru sebagai ART.
Siapa sangka, pekerjaan yang sering dipandang sebelah mata ini justru memberinya kehidupan yang lebih layak. Tidak hanya mendapatkan gaji penuh tanpa potongan, ia bahkan diajak ke luar negeri karena dipercaya membantu mengurus anak majikannya. Ironis memang, profesi guru yang selama ini diagung-agungkan justru membuatnya terpuruk secara ekonomi. Sedangkan profesi ART yang sering dianggap “tidak membutuhkan pendidikan tinggi”, justru memberi penghidupan yang jauh lebih sejahtera.
Kisah ini bukanlah cerita fiksi, melainkan potret nyata dari carut-marutnya sistem kesejahteraan di negeri ini. Bahwa di tengah gembar-gembor pentingnya pendidikan, justru para pendidiklah yang dibiarkan terombang-ambing dalam ketidakpastian. Padahal, pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa. Apa jadinya negeri ini jika para pendidiknya memilih berganti profesi? Namun kita tidak bisa menyalahkan mereka. Sebab, idealisme memang butuh ruang untuk hidup dan ruang itu bernama: kesejahteraan.
Mirisnya, negeri ini sebenarnya bukan negeri miskin. Sumber daya berlimpah. Uang? Ada. Bahkan sangat banyak. Tapi nyatanya, kekayaan negara justru menumpuk di tempat-tempat yang tak semestinya. Kita semua masih ingat bagaimana uang triliunan rupiah ditemukan menumpuk di rumah seorang koruptor. Satu rumah bisa menyimpan lebih banyak uang daripada yang dianggarkan untuk gaji para guru honorer se-Indonesia.
Ini bukan tentang kekurangan sumber daya. Ini tentang krisis kepemimpinan. Indonesia tidak kekurangan orang pintar dan pekerja keras. Kita kekurangan para pejabat yang benar-benar jujur, adil, dan berpihak pada rakyat kecil. Jika saja anggaran negara dikelola dengan integritas, maka kesejahteraan tak perlu menjadi mimpi, dan guru-guru tidak harus memilih menjadi ART demi menyambung hidup.
Kita tidak bisa terus membiarkan generasi berpendidikan kehilangan harapan. Jika pendidikan adalah pilar bangsa, maka para pendidik harus ditempatkan sebagai prioritas. Karena mimpi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan pernah terwujud jika sang pemimpi harus terus dihancurkan oleh realitas yang tidak berpihak.
*Penulis adalah Ririe Aiko, Seorang Pemerhati Sosial
18 hrs ago
18 hrs ago
2.46K
132