Lebaran sudah tiba. Idul Fitri sudah dirayakan. Ada sorak sukacita. Senang melihat saudara-saudari yang bergembira karena sebuah kemenangan yang manis. Menang bukan karena mengalahkan orang lain. Senang bukan karena melihat orang lain menderita. Berpuas hati bukan karena ambisi menemukan jalan dalam sebuah praktik politik kotor dengan mengorban pihak lain. Bukan!
Sebulan penuh menjalani puasa. Itu sebuah perjalanan ke dalam diri yang hebat. Bukan sekadar tunda makan atau tunda minum. Namun, praktik olah spiritual. Puasa dan doa adalah sebuah latihan rohani dan mental. Ada pengekangan nafsu. Ada pengendalian diri. Ada perjuangan untuk jujur dengan diri sendiri di hadapan Pencipta. Ada introspeksi. Ada evaluasi dan keberanian untuk mengoreksi diri. Jadi, yang dikalahkan adalah ambisi dan nafsu serakah diri sendiri. Yang diatasi adalah ketamakan dan dengki pribadi sendiri. Berbarengan dengan itu, yang dibesarkan adalah kebajikan, virtu.
Aristoteles menyebutkan bahwa virtu menjadi jalan untuk hidup bahagia, eudaimonia. Ini adalah kebahagiaan yang baik, karena manusia mencapai potensi penuh dirinya sebagai manusia. Ia tidak hanya mengejar kesenangan sesaat, hedonis. Manusia berbahagia karena dia memiliki hidup yang bermakna dengan sesama. Ia ada bersama dan untuk sesama. Karena itu, manusia saling peduli dan berbagi. Apa yang dikemukakan Aristoteles itu sejalan dengan firman Allah. Agama Kristen mengajarkan umatnya untuk mengasihi Tuhan dan sesama sama seperti diri sendiri. Dalam Islam, umat diajarkan untuk menjadi rahmatan lil alamin.
Ajaran-ajaran indah itu dalam praktik tidak selalu mudah untuk dilakukan. Karena itu, puasa dan doa menjadi jalan yang perlu manusia tempuh. Di situ manusia belajar mengendalikan, bahkan mengosongkan diri (kenosis), supaya hidupnya dapat diisi oleh rahmat Allah yang menolongnya untuk menjadi tanda rahmat bagi sesama, atau menjadi rahmatan lil alamin. Orang yang menjadi rahmatan lil alamin tentu tidak narsistik. Orang narsistik itu hanya mencintai diri sendiri lebih dari apa pun. Secara psikologi, narsistik dapat menjadi penyakit, yang disebut narsistik personality disorder (NPD). Orang dengan NPD merasa diri lebih unggul dari yang lain, cemburu melihat orang lain dan berpikir bahwa orang lain cemburu padanya, anti kritik sebab merasa diri paling benar, dan begitu gila dengan rasa hormat dan pujian. Penyakit seperti ini membuat seseorang sulit untuk hidup damai dengan orang lain. Karena itu, olah spiritual dan olah mental menjadi penting untuk dilakukan, dan kita semua membutuhkan hal itu agar bisa hidup bahagia dan bermakna, serta terbebas dari penyakit mental dan hati seperti NPD. Bulan Ramadhan mengajak kita melihat ke dalam, bukan ke luar.
Saya harus melihat ke diri sendiri, untuk menemukan rahmat Allah yang menolong saya untuk menerima diri sendiri, supaya saya pun bisa menerima orang lain, sama seperti Tuhan menerima semua manusia tanpa memandang muka dan agama.
Dalam kesadaran itulah saya mau mengucapkan selamat untuk sahabat dan saudaraku, umat Islam:
Bandung, 31 Maret 2025
*Penulis adalah Ketua PKKP-Universitas Kristen Maranatha Bandung, Jawa Barat
7 hrs ago
2.30K
132