Penulis: Redaksi LidahRakyat Peristiwa -
11 Dec 2024 -
Views: 183
Ilustrasi
Abu Muhammad al-Julani. Nama yang beberapa pekan lalu hanya bergema di sudut-sudut sunyi Suriah, kini tiba-tiba menjadi headline. Dunia terbangun dengan berita yang menggetarkan: Bashar al-Assad telah tumbang, Damaskus telah jatuh. Al-Julani, pria yang dulu hanya dikenal di lingkaran kecil para pejuang, kini berdiri di panggung besar sejarah, mengukir namanya di dinding-dinding masjid Umayyah dengan pidato penuh gairah dan janji manis.
Hari itu, Minggu, 8 Desember, ia bersujud di gerbang kota. Sebuah pemandangan yang memikat sekaligus menakutkan. Apakah ini awal dari kebebasan atau hanya babak baru dalam lingkaran penderitaan? Di antara puing-puing perang yang membekap Suriah selama 13 tahun, al-Julani tampil seperti tokoh dari epik klasik, seorang pria yang mengguncang takdir dengan tangan berdarah dan lidah bersilat.
Ia bukan pria sembarangan, tentu saja. Nama aslinya Ahmed al-Sharaa. Masa kecilnya dihiasi cerita pengasingan dan pemberontakan, seperti halaman novel revolusi yang sudah sering kita dengar. Ayahnya, penentang Assad, pernah merasakan dinginnya penjara rezim sebelum diasingkan. Dari situlah mungkin darah pembangkang itu mengalir deras dalam nadinya.
Kendatipun perjalanan hidup al-Julani lebih mirip labirin ketimbang garis lurus. Di usia muda, ia terjebak dalam pesona kelam Al-Qaeda, mengarungi padang pasir Irak untuk bergabung dengan kelompok itu. Lima tahun dipenjara tak membuatnya jera, malah semakin mendidih. Ia kembali ke Suriah pada 2011, saat negara itu meledak dalam gejolak Arab Spring. Ia mendirikan Front Al-Nusra, sayap militer Al-Qaeda, hanya untuk kemudian memotong sayap itu sendiri, meninggalkan ideologi khilafah demi nasionalisme pragmatis.
Sebuah langkah yang cerdas, jika tidak terlalu licik. "Kami tidak akan menyerang Barat," katanya pada 2015, sebuah pernyataan yang terdengar seperti rayuan kepada dunia internasional. "Kami hanya ingin Suriah bebas." Tapi benarkah? Dunia mengangkat alis, setengah kagum, setengah curiga.
Kini, Damaskus ada dalam genggamannya. Tidak ada balas dendam terhadap minoritas, katanya. Tidak ada teror, hanya keadilan. Tapi apa arti keadilan dalam kamus seorang pemimpin milisi? Di Idlib, wilayah yang ia kuasai, HTS telah mendirikan semacam negara kecil, lengkap dengan pemerintah sipilnya. Tapi di balik layar, laporan kejahatan perang, pelanggaran hak asasi manusia, dan tindakan brutal terhadap pembangkang terus menghantui.
Al-Julani tahu betul bahwa dunia sedang menontonnya. Ia mengunjungi kamp-kamp pengungsi, berbicara tentang harapan di tengah reruntuhan Aleppo. Bahkan, ia mengawasi upaya bantuan saat gempa bumi mengguncang Suriah tahun lalu. Ia seperti aktor yang memahami bahwa permainan ini membutuhkan lebih dari senjata, ia membutuhkan narasi.
Narasi itu berbau manipulasi. Seperti seorang pedagang ulung, ia menjual "jihad moderat", strategi yang lebih pragmatis dibandingkan kekakuan ideologis ISIS atau Al-Qaeda. Dunia tergoda, tapi skeptis.
"Semakin ia terlihat seperti pemimpin bertanggung jawab, semakin mudah ia diterima," kata seorang pakar.
Betapa tidak, apakah tanggung jawab itu tulus? Tentu tidak. Kepalsuan, seperti aktor yang lupa dialognya, selalu meninggalkan jejak.
Di tengah semuanya, rakyat Suriah hanya bisa menahan napas. Apakah ini akhir dari perang yang menghancurkan hidup mereka, atau hanya jeda sebelum kehancuran berikutnya?
Al-Julani mungkin sedang menulis babak baru dalam sejarah Suriah. Tapi, apakah itu kisah kemenangan atau tragedi, hanya waktu yang bisa menjawab. Untuk saat ini, ia adalah simbol dari sesuatu yang samar. Antara harapan dan ketakutan, antara pembebasan dan penipuan. Kita, penonton dari kejauhan, hanya bisa menyaksikan dengan cemas, menunggu klimaks dari drama yang terlalu sering berubah menjadi mimpi buruk. (Rosadi Jamani)