Rabu, 16 Jul 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Mengapa Produk SMK Mandek di Sekolah?
Kerja Benar dan Cerdas Untuk Perubahan
Penulis: Rudi Nofindra*
Analisis - 13 Jun 2025 - Views: 272
image empty
Rudi Nofindra. Dok. Pribadi

Era industri 4.0 dan masyarakat 5.0, dunia pendidikan dituntut untuk mampu beradaptasi secara cepat, tanggap, dan relevan. Pendidikan vokasi, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), memiliki peran strategis sebagai pilar pencetak tenaga kerja terampil yang siap pakai. Namun, di balik semangat Teaching Factory (TEFA) yang digaungkan pemerintah, masih terselip kelemahan mendasar minimnya integrasi teknologi digital dalam aspek pemasaran hasil pembelajaran. Sebagai pendidik, saya menemukan bahwa banyak produk atau jasa hasil praktik siswa SMK hanya berhenti di meja kelas atau etalase sekolah. Padahal, di tengah ledakan pengguna media sosial di Indonesia yang pada 2024. Menurut The Global Statistics sudah menyentuh angka 191,4 juta pengguna. Sayangnya, sebagian besar siswa maupun guru belum menyadari potensi luar biasa dari social media marketing (SMM) Weinberg (2009).

Inilah celah yang mendorong saya menyusun dan mengembangkan model pembelajaran Teaching Factory (TEFA) menggunakan Sosial Media Marketing (SMM) yang bisa diterapkan di SMK, khususnya di bidang seni dan ekonomi kreatif. Pertanyaan yang perlu menjadi perhatian serius adalah, Mengapa Media Sosial itu penting ?. Jawabannya Media sosial bukan lagi sekadar tempat hiburan atau bersosialisasi. Bagi generasi muda, media sosial adalah panggung. Mereka hadir di sana, membangun identitas, mengapresiasi karya, dan jika diarahkan dengan benar juga bisa membangun brand, menjual produk, dan mengasah keterampilan wirausaha sejak dini. Namun, temuan saya menunjukkan bahwa pemanfaatan media sosial oleh siswa SMK masih sporadis dan tidak sistematis. Ada yang sekadar memajang karya di Instagram, tapi tanpa strategi konten. Ada yang membuat akun bisnis di Facebook, tapi tidak berkelanjutan. Belum ada pembelajaran terstruktur yang menjadikan sosial media sebagai bagian integral dari strategi pembelajaran kejuruan.

Inilah yang membuat saya merasa penting untuk merancang sintaks pembelajaran TEFA yang secara eksplisit memuat aktivitas Sosial Media Marketing mulai dari riset pasar digital, pembuatan konten kreatif, manajemen akun bisnis, hingga analisis interaksi audiens. Pembelajaran pun menjadi lebih kontekstual, aktual, dan bermakna.

Dari Sekolah ke Dunia Nyata

Penggunaan sosial media ke dalam Teaching Factory membuka jendela baru bagi siswa SMK. Tak lagi sekadar belajar produksi, mereka kini juga belajar membangun pasar, memahami branding, dan menjawab kebutuhan konsumen secara realtime.

Mereka tidak hanya menciptakan produk, tetapi juga belajar “menjual karya/produk sendiri” dalam konteks positif membangun portofolio digital, mengasah komunikasi pemasaran, dan melatih percaya diri dalam berinteraksi dengan audiens global.

Kritik yang sering muncul terhadap pendekatan digital dalam pendidikan adalah sifatnya yang “gimmick” sekadar mengikuti tren, tapi tidak membentuk kompetensi nyata. Model yang saya kembangkan justru sebaliknya berangkat dari kebutuhan nyata di dunia kerja. Banyak industri kreatif saat ini bahkan merekrut talenta berdasarkan jejak digital mereka, bukan hanya ijazah. Maka, mengajarkan siswa untuk menggunakan sosial media secara strategis bukan sekadar mengikuti zaman, tetapi mempersiapkan mereka untuk hidup dan bekerja di zaman ini.

Peran Guru: Dari Instruktur ke Fasilitator Digital

Model ini juga menantang guru untuk bertransformasi. Guru tak lagi hanya mengajar teknik produksi, tapi juga menjadi fasilitator dalam membangun kompetensi digital siswa. Mereka harus melek platform, mampu menilai kualitas konten digital, dan memberi umpan balik tidak hanya dari aspek teknis produksi, tapi juga performa digital. Untuk mendukung implementasi, kemudian juga mengembangkan perangkat pembelajaran berupa buku guru, buku siswa, dan job sheet yang memuat sintaks pembelajaran serta langkah-langkah praktis dalam menerapkan strategi SMM.

Dari Model Menuju Kebijakan

Penyatuan teaching factory dan sosial media marketing ini semestinya tidak berhenti pada level penelitian saja. Pemerintah daerah, Dinas Pendidikan, bahkan Kementerian terkait perlu melihat peluang ini sebagai strategi besar dalam revitalisasi SMK. Teaching Factory menggunakan Sosial Media Marketing bukan hanya relevan, tetapi juga murah, fleksibel, dan berdampak. Dengan penguatan regulasi, pelatihan guru, dan penyediaan dukungan infrastruktur digital, model ini bisa diadopsi secara luas. Sekolah-sekolah SMK di Indonesia dapat bertransformasi menjadi inkubator bisnis digital yang nyata, bukan sekadar slogan.

Saatnya Berani Melompat

Jika kita ingin lulusan SMK berdaya saing global, maka kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional. Dunia sudah berubah cara belajar, cara bekerja, dan cara memasarkan telah bergeser. Maka pendidikan pun harus melompat, tidak lagi berjalan.

Teaching Factory menggunakan Sosial Media Marketing adalah salah satu lompatan itu. Sebuah model yang menggabungkan praktik vokasi dengan strategi pemasaran digital. Sebuah solusi untuk membekali siswa SMK tak hanya dengan keterampilan kerja, tapi juga dengan kemampuan menjual keunggulan mereka kepada dunia. Karena di era ini, keterampilan saja tidak cukup yang dibutuhkan adalah keterampilan yang mampu ditemukan.

 

*Rudi Nofindra, Penulis Lahir Padang, 17 Juli 1984. Anak laki-laki 1 dari 2 bersaudara, Selain Berprofesi sebagai Guru & Pegiat Teknologi Pendidikan . Awardee Beasiswa Unggulan S3 Kemendikbud & Penerima ASTRA AWARD Bidang Pendidikan dan Alumni S3 ILmu Pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Padang