Demokrasi sebagai sistem pemerintahan menjunjung tinggi prinsip kesetaraan hak suara bagi semua warga negara, tanpa membedakan tingkat pendidikan, kompetensi, atau kapasitas intelektual. Namun, prinsip ini telah menjadi bahan kritik sejak zaman Yunani Kuno, salah satunya oleh Plato. Dalam Republik, Plato menyoroti bahaya demokrasi yang memungkinkan orang-orang tanpa pengetahuan dan kebijaksanaan menentukan arah negara. Ia membandingkan demokrasi dengan kapal yang dinakhodai oleh penumpangnya sendiri, bukan oleh seorang kapten yang berpengalaman, sehingga berisiko besar menjerumuskan negara ke dalam kekacauan.
Kritik terhadap demokrasi juga datang dari John Stuart Mill, yang mengusulkan konsep plural voting, di mana mereka yang lebih berpendidikan seharusnya memiliki bobot suara lebih besar dalam pemilihan. Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America memperingatkan bahaya tirani mayoritas, di mana keputusan yang dihasilkan lebih didasarkan pada jumlah suara, bukan pada kualitas argumen atau rasionalitas kebijakan yang diambil.
Dalam sistem demokrasi modern, mekanisme legislatif seharusnya menjadi filter agar keputusan negara diambil oleh individu yang memiliki pengetahuan, kompetensi, dan reputasi yang baik. Namun, realitas politik di banyak negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa banyak anggota legislatif terpilih bukan karena kompetensi atau integritasnya, melainkan karena popularitas dan kekuatan modal. Fenomena money politics telah menjadi rahasia umum, di mana suara rakyat dibeli, bukan dimenangkan melalui gagasan dan kapasitas kepemimpinan.
Di tengah realitas ini, tradisi Minangkabau menawarkan sebuah perspektif berbeda dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah. Ungkapan "barundiang samo pandai, baretong sampai sudah" Barundiang samo pandai" bahwa dalam bermusyawarah, orang-orang yang terlibat harus memiliki kecerdasan, pengetahuan, dan pemahaman yang setara agar bisa berargumen dengan baik dan mencapai kesepakatan yang rasional. Jika ada ketimpangan dalam tingkat kecerdasan atau pengetahuan, diskusi bisa menjadi tidak produktif atau bahkan didominasi oleh pihak yang tidak memahami persoalan disebabkan mereka dominan.
"Baretong sampai sudah" bermakna bahwa dalam berdiskusi, argumentasi harus disampaikan secara tuntas, mendalam, dan dipertimbangkan secara matang sebelum mengambil keputusan akhir. Ini menunjukkan pentingnya ketelitian dan kehati-hatian dalam mencapai mufakat, bukan sekadar mengikuti mayoritas suara tanpa analisis yang memadai. Ungkapan ini mencerminkan prinsip dalam budaya Minangkabau bahwa musyawarah bukan hanya soal banyaknya peserta, tetapi tentang kualitas diskusi yang dilakukan. Dengan kata lain, keputusan yang baik hanya bisa lahir dari perundingan yang diikuti oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan pemikiran yang matang. Menegaskan bahwa perundingan harus dilakukan oleh individu yang memiliki kompetensi dan pemahaman yang seimbang. Prinsip ini sejalan dengan pemikiran Jürgen Habermas tentang demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya diskursus rasional sebagai basis pengambilan keputusan, bukan sekadar akumulasi suara mayoritas. Jika musyawarah dilakukan tanpa keseimbangan kompetensi, maka keputusan yang lahir bukanlah kebijakan yang baik, melainkan kompromi yang lemah dan cenderung destruktif.
Kondisi legislatif saat ini memunculkan pertanyaan fundamental: Apakah persyaratan minimal ijazah Paket C masih relevan untuk menjadi calon anggota legislatif atau kepala daerah? Jika merujuk pada prinsip Minangkabau yang mengutamakan kesetaraan kompetensi dalam musyawarah, maka standar pendidikan dan kompetensi politik seharusnya ditingkatkan. Namun, masalah utama bukan hanya sekadar tingkat pendidikan formal, tetapi juga integritas, kapasitas intelektual, serta pemahaman mendalam terhadap tata kelola negara. Salah satu dampak dari sistem yang lebih mengutamakan popularitas dan kekuatan modal dalam pemilihan anggota legislatif adalah suburnya korupsi di berbagai lembaga pemerintahan. Dengan lemahnya seleksi berbasis kompetensi dan tingginya biaya politik, banyak pejabat yang lebih fokus pada pengembalian modal politiknya dibandingkan menjalankan amanah rakyat. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kasus korupsi yang terus bermunculan, seperti yang terjadi di Pertamina Patra Niaga, yang menyusul skandal tata kelola timah yang sebelumnya telah mencatat angka korupsi yang fantastis.
Jika mengacu pada pemikiran Aristoteles, demokrasi yang tidak dikontrol oleh kebijaksanaan dapat dengan mudah berubah menjadi oligarki terselubung, di mana kekuasaan hanya berada di tangan mereka yang memiliki sumber daya terbesar, bukan di tangan mereka yang paling layak. Dalam realitas saat ini, korupsi bukan hanya terjadi dalam eksekutif, tetapi juga dalam legislatif, karena aturan dan pengawasan berada di tangan mereka yang seharusnya menjadi penjaga moralitas politik. Jika sistem ini tidak segera diperbaiki, maka demokrasi kita akan terus dipenuhi oleh keputusan-keputusan yang lemah, diambil oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi, dan dijalankan oleh mereka yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan kesejahteraan rakyat. Plato, Mill, dan Tocqueville telah lama memperingatkan kita tentang bahaya demokrasi yang tidak dikendalikan dengan kebijaksanaan. Sekarang, pertanyaannya adalah: Apakah kita masih ingin membiarkan demokrasi berjalan tanpa arah, atau kita mulai memperbaiki sistem agar benar-benar menghasilkan pemerintahan yang berkualitas?
Padang, Sumatera Barat 2025.
-------------------------
Riwayat Singkat Penulis
Muhammad Ishak, aktif di kegiatan Silat, baca Puisi dan Teater sejak belia sampai remaja, aktif dalam pementasan Teater dan Baca Puisi sejak tahun 1989 sampai dengan 1995 , tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dalam kelompok Teater Dayung Dayung pimpinan A.Alinde (alm) thn 1992 dan juga tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta ( TIM) dengan Bumi Teater Pimpinan Wisran Hadi (alm) tahun 1994 ,dan aktif pementasan teater di Taman Budaya SUMBAR dan kota lainnya, ikut dalam forum Pejuang Seniman Sumatera Barat (FPS-SB) , serta terlibat sebagai pembicara dalam Kelompok Kreator Era AI, Satu Pena SUMBAR, bekerja didunia perbankan selama lebih kurang 28 tahun sejak tahun 1996 sebagian dihabiskan menjadi Direktur Utama selama 20 tahun di beberapa Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Sumbar dan mendirikan BPR milik Pemda Padang Pariaman pada thn 2007, sekarang sebagai Komisaris disamping Advokat dan aktif dalam kegiatan Kebudayaan dan Kesenian.
Pendidikan:
Sarjana Hukum: Universitas Bung Hatta.
Magister Hukum: Universitas Andalas.
7 hrs ago
2.30K
132