Langit Indramayu sore itu memerah, seperti raut wajah seseorang yang menahan tangis. Di beranda sebuah rumah kecil, Oki Nukman duduk termenung. Hati dan pikirannya kacau, dihantam cemoohan dan serangan yang datang bertubi-tubi. Di layar ponselnya, sebuah video kampanye dari kubu lawan tengah viral. Suara dalam video itu menyindir masa lalunya: seorang anak miskin, ditinggalkan keluarga, dan akhirnya diadopsi oleh orang asing.
Oki menghela napas panjang. "Kenapa harus seperti ini, Bu?" katanya lirih kepada Bu Lastri, ibu angkat yang telah merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
"Seperti apa, Nak?" Bu Lastri mendekat, membelai kepala Oki dengan penuh kehangatan.
"Kenapa masa lalu saya dijadikan bahan hinaan? Apa salahnya menjadi anak adopsi? Apa salahnya saya mencoba membuat Indramayu lebih baik?" Air mata Oki mulai jatuh, membasahi pipinya yang cekung.
Bu Lastri tersenyum lembut meski matanya ikut berkaca-kaca. "Nak, masa lalu itu seperti akar. Ia tumbuh di tanah yang keras, tetapi dari sanalah pohonmu menjulang tinggi. Jangan biarkan orang lain menilai hidupmu hanya dari akarnya. Mereka harus melihat buah yang kau hasilkan."
"Tapi, Bu, mereka terus mengorek luka saya. Mereka bilang saya bukan siapa-siapa, hanya artis kecil yang numpang nama di dunia politik."
"Nak," Bu Lastri menggenggam tangan Oki erat, "kau tahu kenapa Ibu mengadopsimu dulu? Karena Ibu percaya, anak ini akan tumbuh menjadi seseorang yang besar. Bukan besar karena kekuasaan, tetapi karena hatimu yang penuh keberanian. Jangan takut, Oki. Mereka hanya seperti angin, sedangkan kau adalah gunung."
Saat yang besamaan itu, di rumah besar keluarga Gustiar, Nemo Gustiar duduk di ruang kerjanya yang mewah. Tim suksesnya sibuk berdiskusi tentang strategi kampanye terakhir.
"Pak Nemo, isu tentang masa lalu Oki sedang ramai. Kita harus terus menekan itu!" seru salah seorang anggota timnya.
Nemo mengangguk pelan, meski hatinya terasa berat. "Tapi, bukankah kita harus menang dengan cara yang lebih elegan?" tanyanya nyaris tak terdengar di tengah keramaian.
Pak Gustiar, ayahnya, masuk ke ruangan. "Kalian keluar dulu. Saya ingin bicara dengan Nemo." Setelah ruangan sepi, Nemo memandang ayahnya dengan ragu. "Ayah, apa kita harus sejauh ini? Mengungkit masa kecilnya, keluarganya, bahkan statusnya sebagai anak adopsi?"
Pak Gustiar menghela napas panjang. "Nemo, Ayah tahu kau ingin menang. Tapi ada harga yang tak boleh dibayar, bahkan untuk sebuah kemenangan."
"Ayah, aku merasa kosong. Semua sudah kurencanakan, tapi hati ini seperti tak mendukung langkahku."
"Itu karena kau melawan seseorang yang memiliki sesuatu yang tak kau miliki, Nemo. Hati yang tahan uji."
Hari terakhir kampanye tiba. Oki berdiri di atas panggung kecil di tengah lapangan desa. Ribuan warga Indramayu berkumpul, wajah mereka penuh harapan. Dengan mikrofon di tangannya, tubuh Oki sempat gemetar. Namun, saat mulai berbicara, suaranya memecah keheningan.
"Saudara-saudaraku," katanya, "saya berdiri di sini bukan untuk menyembunyikan masa lalu saya. Ya, saya anak miskin. Ya, saya anak adopsi. Tetapi apakah itu membuat saya tak layak bermimpi untuk kalian? Apakah masa lalu saya harus menjadi alasan untuk menghentikan langkah ini?"
Kerumunan hening. Isak tangis beberapa orang mulai terdengar.
"Saya tahu banyak di antara kalian yang hidup seperti saya dulu. Hidup di bawah garis kemiskinan, merasa tak punya harapan. Tetapi dengarkan saya! Jika saya, seorang anak kecil yang dulu tak punya apa-apa, bisa berdiri di sini hari ini, maka kalian juga bisa bangkit dan meraih mimpi kalian!"
Air mata Oki mengalir, tetapi ia tersenyum. "Saya tidak takut pada hinaan. Saya hanya takut tidak bisa menjadi pemimpin yang kalian harapkan."
Sorak-sorai menggema di lapangan. Hati warga Indramayu telah dipikat oleh kejujuran Oki.
Malam penghitungan suara, suasana di kedua kubu sangat tegang. Di layar televisi, angka terus bergulir. Hingga akhirnya, nama Oki Nukman disebut sebagai pemenang.
Di rumah besar keluarga Gustiar, Nemo tersenyum kecil. "Dia memang pantas menang," bisiknya. Sementara itu, di rumah kecil Bu Lastri, Oki bersujud syukur. Air matanya mengalir deras, membasahi lantai. "Terima kasih, Tuhan. Ini bukan untukku, ini untuk mereka yang percaya bahwa harapan selalu ada."
Langit Indramayu memerah kembali, kali ini bukan karena amarah, melainkan karena semangat baru yang menyala di hati warganya. (Rosadi Jamani)
2.28K
132